Sosialisasi Peningkatan Penggunaan Alat Kesehatan Dalam Negeri dibuka oleh Menteri Kesehatan RI, Prof. Dr. dr. Nila Farid Moeloek, Sp.M(K) di Balai Kartini – Jakarta Selatan, Selasa pagi (30/8). Latar belakang kegiatan ini adalah upaya Kementerian Kesehatan dalam meningkatkan penggunaan produk alat kesehatan (Alkes) dalam negeri sebagaimana arahan Presiden pada Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan. Salah satu upayanya adalah dengan mendorong penggunaan alat kesehatan dalam negeri oleh tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan. Diharapkan dengan sosialisasi ini mampu menyebarkan informasi mendetail mengenai penggunaan alkes dalam negeri yang sudah dikembangkan menjadi lebih baik.
Menkes menjelaskan, tercatat ratusan produsen untuk kampanye sosialisasi alkes dalam negeri ini, terdapat peningkatan industri alat kesehatan di Indonesia yakni dari 193 sarana industri pada 2015, bertambah menjadi 201 sarana industri pada Juli 2016, yang memproduksi berbagai produk, antara lain: hospital furniture; sphygmomanometer; stetoskop; sarung tangan (hand gloves), kateter urine, alat kesehatan elektromedik (infant incubator, nebulizer, O2 concentrator, dental chair, EKG, fetal doppler, syringe pump, infusion pump, lampu operasi, dan lain-lain); alat kesehatan kontrasepsi (IUD dan kondom); alat kesehatan disposables (syringes, benang bedah, kantong urine, infusion set, masker, kasa, kapas pembalut, plester elastik, band aid, dan lain-lain); instrumen bedah (mayor dan minor set); medical apparels (operating gown, bed sheets, dan lain lain); rapid test (seperti HIV test, hepatitis test, tes kehamilan, tes narkoba); reagensia pewarnaan; antiseptik; sterilisator; dan lain-lain.
Sosialisasi ini patut dilakukan agar semakin banyak yang menggunakan alkes buatan negeri sendiri. Untuk beberapa alat yang dirasa sulit untuk diproduksi seperti, MRI dan CT Scan memang belum ada buatan dalam negeri. Namun, peralatan furnitur kesehatan lainnya sudah mampu berkembang dan layak digunakan untuk fasilitas kesehatan. “Memang kedua hal itu kita akui belum sanggup membuatnya. Tapi seperti tempat tidur, jarum suntik, dan alat lainnya sudah bisa diproduksi di dalam negeri.”
Beberapa alat kesehatan masih akan diimpor ke dalam negeri. Namun, ia akui potensi perkembangan alkes masih tetap bisa bersaing dengan produksi luar, masih terbuka dan tetap akan butuh impor karena tujuannya untuk menyelamatkan manusia. Tapi sudah ada peningkatan penggambaran potensi perkembangan industri alkes dalam negeri.
Pertemuan ini mengundang peserta dari organisasi profesi seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), Perhimpunan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), ARSADA, Dinas Kesehatan di wilayah Jabodetabek, rumah sakit milik pemerintah dan BUMN, RS pendidikan milik universitas, universitas kedokteran dan kedokteran gigi, kolegium, PMI, dan internal Kementerian Kesehatan. Selain kegiatan paparan dan dialog interaktif dengan para narasumber, juga diselenggarakan pameran, yang menampilkan 21 industri alat kesehatan dengan berbagai produk.
Beberapa catatan yang ditekankan oleh Menteri kesehatan antara lain untuk mengurangi ketergantungan dengan impor, pengembangan produk alkes dalam negeri, dan kerjasama akademisi dengan peneliti harus dikembangkan.
“Dengan menggunakan alat kesehatan buatan dalam negeri, negara atau daerah dapat melakukan penghematan anggaran 20 – 30 persen. Sebab, selain bermutu, harganya pun terjangkau. Disini yang diutamakan pula adalah harus berstandar internasional dengan izin edar,” Apalagi dengan jumlah populasi penduduk yang cukup besar sebanyak 255 juta jiwa, dikatakan Menkes, menjadi pasar potensial dalam negeri yang juga tidak secara sengaja mendorong pengembangan inovasi alkes, sebagai pendukung kegiatan sosial sekaligus peningkatan ekonomi bagi bangsa, karenanya dituntut bagi setiap produk alkes buatan dalam negeri untuk mengutamakan mutu, sehingga bisa mampu berkompetitif dengan produk dari luar. Dengan tumbuhnya industri alat kesehatan dalam negeri, didukung dengan terbitnya Inpres Nomor 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan, Menkes berharap target penggunaan alat kesehatan dalam negeri akan tercapai, ehingga Indonesia tidak perlu lagi bergantung pada pemberian alat kesehatan bekas dari luar negeri, karena kualitas alkes dalam negeri tidak perlu diragukan.
Menkes cukup prihatin dengan ketergantungan pelayanan kesehatan dalam negeri terhadap alkes impor yang mencapai 90%. Untuk itu, Menkes mengimbau agar bahwa dengan menggunakan alkes dalam negeri, sudah terjamin keamanan, mutu dan kemanfaatannya dan ikut juga berkontribusi positif terhadap perekonomian Indonesia, dan juga memastikan bahwa mutu dan kualitas alkes dalam negeri tidak perlu diragukan lagi. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan jenis dan jumlah alkes dalam negeri dapat memenuhi 44,9 persen dari kebutuhan rumah sakit kelas A, karena saat ini sudah ada 2.623 alat kesehatan dalam negeri yang sudah memenuhi izin edar dan standar internasional,”
Untuk Jaminan Kesehatan Nasional menurut Menkes, Obat dan alkes menjadi komponen penting dalam sistem layanan kesehatan, karena itu pemerintah harus memberikan kepastian baik soal ketersediaan maupun soal harga. Jangan sampai dua komponen tersebut menghambat pelaksanaan JKN di lapangan. Dengan adanya kompetisi harga alkes dan obat dan adanya kebutuhan dapat menjadi celah masuknya produk-produk global pada pasar domestik, bisa saja alkes dan obat luar negeri mendapatkan pasar besar di Indonesia, ketersediaan alkes dan obat sangat terkait dengan kemampuan industri alkes dalam memenuhi fasilitas layanan kesehatan di dalam negeri. (humasfarmalkes-rd)