Pada tanggal 23 – 25 April 2014 Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian menggelar acara Rapat Konsultasi Teknis dengan tema ”Keselarasan dan Sinergisme Pusat dan Daerah dalam Pelaksanaan Program Bidang Produksi dan Distribusi Kefarmasian”di Hotel Aryaduta Makassar, Sulawesi Selatan.
Acara ini dihadiri oleh 66 orang peserta terdiri dari Pemegang program pada 33 Dinas Kesehatan Provinsi se-Indonesia dan Peserta pusat dari Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian.
Acara dibuka dengan Laporan Ketua Panitia oleh Direktur Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian yang dilanjutkan dengan Sambutan dari Kepala Dinas Provinsi Sulavesi Selatan, yang disampaikan oleh Sekretaris Dinkes Provinsi Sulawesi Selatan yang menyampaikan Tahun 2014 dimulai Jaminan Kesehatan Nasional. Poin penting: ketersediaan obat; indikator 100% vaksin tersedia; penyesuaian izin PBF; memfasilitasi GP Farmasi untuk Musyawarah Daerah (Musda) untuk membina anggotanya dalam SIPNAP seperti Puskesmas dan Apotek; kendala kesulitan impor data dan mutasi SDM terlatih di daerah sehinga perlu peningkatan kemampuan dan pembekalan kembali bagi pengelola SIPNAP di daerah.
“Indikator Binfar meraih nilai hijau, hal ini adalah karena peran semua pihak termasuk dari Dinkes Provinsi” demikian ucap Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Dra. Maura Linda Stanggang, Apt., Ph.D dalam arahan sambutan Rapat Konsultasi Teknis 2014.
Pada tahun 2014, Indonesia telah menerapkan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). JKN adalah salah satu langkah penting pembangunan kesehatan Indonesia yang akan diberlakukan bagi masyarakat Indonesia secara bertahap dan diharapkan mencakup seluruh penduduk Indonesia pada tahun 2019. JKN mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif termasuk pelayanan obat dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan medis. Obat untuk pelayanan JKN ada dalam formularium nasional dan mencakup seluruh kelas terapi sesuai dengan tingkat pelayanan.
Untuk memenuhi kebutuhan terhadap obat, maka perlu dilakukan pembinaan terhadap produksi dan distribusi kefarmasian menjadi komponen yang sangat penting. Jaminan ketersediaan obat dari sektor produksi menjadi salah satu penentu keberhasilan JKN. Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1986 mengamanatkan pembinaan terhadap industri obat dan bahan obat kepada Menteri Kesehatan. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa dukungan sektor kefarmasian dapat diwujudkan dalam bentuk pembinaan industri agar dapat melakukan produksi dan distribusi obat yang mendukung tercapainya kemandirian nasional.
Upaya pembinaan tersebut tentunya memperhatikan terpenuhinya jaminan kemanan, khasiat, dan mutu serta terpenuhinya kebutuhan obat dan bahan baku obat. Upaya pembinaan yang dilaksanakan hendaknya merupakan suatu usaha yang terpadu dengan upaya pengawasan dan pengendalian sehingga terciptalah suatu sistem pembinaan, pengendalian dan pengawasan yang terpadu dan efektif oleh seluruh pemangku kepentingan di bidang kefarmasian.
“Pelayanan Perizinan industri obat, obat tradisional, kosmetik dan Pedagang Besar Farmasi (PBF) merupakan tahap awal pembinaan dan pengawasan, Saya sangat berharap pelayanan perizinan dapat dijalankan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sesuai kewenangan masing-masing dengan berpedoman pada aturan yang telah ditetapkan dengan memperhatikan janji waktu pelayanan, sehingga perizinan yang kita laksanakan benar-benar dapat merupakan seleksi awal atas kelayakan perusahan tersebut untuk mampu bergerak di bidang kefarmasian tanpa melupakan pelayanan publik yang prima” tandas Ibu Dirjen.
Seperti kita ketahui bersama bahwa dunia farmasi Indonesia mengalami pertumbuhan yang cukup besar setiap tahunnya, dengan rata-rata pertumbuhan sekitar 12% per tahun. Negara Indonesia sendiri telah mampu memenuhi hampir 90% kebutuhan obat dari produksi di dalam negeri meskipun sekitar 96% bahan baku yang digunakan masih impor.
Guna mendorong tercapainya kemandirian bahan baku obat, saat ini telah dikembangkan 5 strategi yang akan ditempuh, yaitu: 1) Mengembangkan kebijakan yang berpihak pada pengembangan bahan baku obat; 2) Meningkatkan sinergisitas Akademisi-Pemerintah-Dunia Usaha; 3) Memperkuat riset bahan baku obat yang berorientasi pada kebutuhan; 4) Meningkatkan kemampuan IPTEK; dan 5) Meningkatkan produksi bahan kimia sederhana, pemanfaatan sumber daya alam, dan bioteknologi. Pelaksanaan kelima strategi ini secara bersama oleh para pemangku kepentingan di bidang kefarmasian diyakini akan mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku impor.
Di Indonesia baru sekitar 300 jenis tanaman yang telah terbukti berkhasiat dan dipergunakan sebagai obat, walaupun jumlah tanaman yang dipergunakan secara empiris oleh masyarakat jumlahnya jauh lebih banyak. Sampai saat ini baru dihasilkan 6 fitofarmaka dan 38 obat herbal terstandar.
WHO melalui World Health Assembly merekomendasikan penggunaan obat tradisional dalam pemeliharaan kesehatan masyarakat, pencegahan dan pengobatan penyakit, terutama untuk penyakit kronis dan penyakit degeneratif serta kanker.
Untuk meningkatkan penggunaan obat tradisional tersebut, Kementerian Kesehatan telah melakukan kegiatan fasilitasi pendirian Pusat Penanganan Pasca Panen Tanaman Obat (P4TO) yang telah dikelola tersinergi dengan Pemda Propinsi dan Kab/Kota. Selain untuk menjembatani sentra produksi tanaman obat dengan produksi obat tradisional skala besar, keberadaan P4TO dan PED juga diharapkan dapat mendorong pengembangan usaha obat tradisional, baik UKOT, UMOT, maupun IOT.
Pada tahun 2012 telah dibangun 3 unit P4TO, tahun 2013 dibangun 4 unit P4TO dan 1 unit PED. Tahun 2014 ini Kementerian Kesehatan merencanakan akan memfasilitasi 4 unit peralatan P4TO dan 1 unit peralatan PED. Diharapkan, pendirian PED dan P4TO tersebut dapat meningkatkan pemanfaatan bahan baku bersumber alam yang memenuhi standar keamanan dan mutu. Diharapkan program ini akan terus berlanjut sampai mencakup seluruh provinsi.
Pembinaan produksi dan distribusi kefarmasian tidak hanya diarahkan kepada obat, obat tradisional dan bahan baku obat, namun juga diarahkan kepada pembinaan produksi kosmetik dan makanan mengingat eratnya hubungan kosmetik dan makanan dengan aspek kesehatan.
Secara umum, pembinaan kepada industri kosmetik dan makanan dilakukan dengan prioritas mendorong pengembangan pelaku usaha kecil (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah –UMKM), terutama dalam kepatuhan terhadap standar keamanan, mutu, dan manfaat serta terhadap antisipasi pemberlakuan Harmonisasi ASEAN. Pelaku usaha kosmetik dan makanan skala UMKM diharapkan dapat memperkuat posisi usaha mereka di pasar ASEAN dengan tetap menjamin keamanan, mutu, dan manfaat produk yang dihasilkan. Pembinaan usaha kosmetik dan makanan dilakukan secara terpadu dengan sektor lain, seperti Perindustrian, KUKM, Badan POM, dan lain-lain.
Di sektor kesehatan, pembinaan produksi kosmetik dan makanan dilakukan dengan penguatan kualitas SDM petugas di Pusat/Provinsi/Kabupaten/Kota dan pemberdayaan masyarakat. Petugas kefarmasian –yang menangani sediaan kosmetik dan makanan- diharapkan memiliki pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), dan kemampuan melaksanakan tugas (attitude) yang teraktual terhadap keamanan, mutu, dan manfaat sediaan kosmetik dan makanan. Pemberdayaan masyarakat dilakukan untuk meningkatkan pemahaman mereka terhadap produk kosmetika, sehingga meningkatkan upaya pencegahan terhadap bahaya produk kosmetika-makanan yang substandar.
Tercapainya dukungan sektor kefarmasian dalam tidak dapat dilepaskan dari peranan sistem pelaporan yang menjadi tugas kita bersama. Saat ini, telah tersedia sistem pelaporan dinamika obat PBF (e-report PBF) dan sistem pelaporan narkotika dan psikotropika (SIPNAP). Kedua sistem ini disusun untuk dapat memberikan informasi terkini tentang dinamika penggunaan obat, narkotika, dan psikotropika di sarana distribusi dan pelayanan kesehatan. Saat ini kepatuhan untuk menyampaikan pelaporan sudah sangat baik hal ini terbukti dengan jumlah PBF yang terdaftar dalam e-report PBF sebanyak 1824. Berdasarkan hasil analisa pelaporan PBF tahun 2012 – 2013, pasar farmasi nasional tahun 2012 sebesar Rp. 51,75 T dan tahun 2013 sebesar 65,93 T. Pasar farmasi nasional tahun 2013 mangalami peningkatan sebesar Rp. 14,18 T dari tahun sebelumnya.
Sampai saat ini PBF yang telah melakukan pembaharuan ijin sebesar 32% dari 1598 PBF Pusat. Untuk itu Dinas Kesehatan Provinsi memegang peranan penting untuk melakukan pembinaan dan pengendalian dinamika obat PBF sehingga amanah Permenkes 1148 Tahun 2011 dapat dilaksanakan dengan baik.
Narasumber dari acara ini bersala dari Dinkes Provinsi Sulawesi Selatan, Dinkes Provinsi Kota Pekalongan, Dinkes Provinsi Jawa Barat, Dinkes Provinsi DKI Jakarta dan Narasumber pusat dari Direktur Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian.
HASIL KESEPAKATAN RAPAT KONSULTASI TEKNIS DIREKTORAT BINA PRODUKSI DISTRIBUSI KEFARMASIAN:
- Pemetaan perijinan sarana produksi dan distribusi kefarmasian dilakukan oleh seluruh dinas kesehatan propinsi disampaikan pada bulan Oktober tahun 2014 ke Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian untuk ditindaklanjuti sebagai bahan regulasi di bidang prodis Kefarmasian.
- Sosialisasi pelaporan penggunaan narkotik & psikotropika dan dinamika obat secara elektronik menggunakan aplikasi SIPNAP dan e-report PBF merupakan tanggung jawab bersama pusat dan daerah.
- Sarana distribusi kefarmasian wajib menyampaikan laporan SIPNAP per bulan dan laporan e-report PBF per tri wulan.
- Pembinaan terhadap sarana produksi dan distribusi kefarmasian serta sumber daya manusianya dilakukan secara terus menerus baik di tingkat pusat maupun daerah.
- Pemberdayaan masyarakat bidang produksi dan distribusi kefarmasian dilakukan oleh pusat dan daerah dengan melibatkan lintas sektor, program, swasta dan masyarakat dengan model dan metode yang disesuaikan.
Sosialisasi dan/atau advokasi terhadap pemerintah daerah terkait dengan program pengembangan bahan baku obat dan dilakukan oleh pusat dan daerah.
Paparan: