Jamu merupakan warisan budaya bangsa Indonesia yang telah diwariskan secara turun temurun dan dikembangkan dari generasi ke generasi, sehingga menjadi produk yang bernilai ekonomi tinggi, memberikan manfaat dan menjadi kebanggaan sebagai bagian dari identitas bangsa.
Di era modern saat ini, jamu memiliki dimensi yang luas. Dengan meningkatnya kecenderungan masyarakat global untuk back to nature menuntut tersedianya produk bahan alam yang berkualitas, praktis dan sesuai dengan pola hidup modern. Dari data Riskedas 2010 menunjukkan bahwa lebih dari separuh (55,3%) penduduk Indonesia menggunakan Jamu dan 95 % nya menyatakan bahwa Jamu bermanfaat.
Untuk meningkatkan kemampuan bagi pelaku Usaha Jamu Racikan (UJR) dan Usaha Jamu Gendong (UJG) dalam penyediaan jamu yang aman, bermutu dan bermanfaat sehingga penggunaan jamu rakyat, pada tanggal 26 Agustus 2014, telah dilaksanakan kegiatan Workshop Pembinaan UJG dan UJR di Hotel Topas, Bandung. Acara dibuka oleh Direktur Bina Distribusi dan Produksi Kefarmasian serta diikuti oleh 100 peserta yang merupakan pelaku UJR – UJG dari kota Cimahi dengan melibatkan stakeholder terkait seperti Pusat Promosi Kesehatan-KementerianKesehatan, GP Jamu dan Balitro-Kementerian Pertanian sehingga diharapkan dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan meningkatkan ekonomi Jawa Barat.
Dalam sambutannya, Direktur Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian menyampaikan bahwa Jamu merupakan warisan budaya bangsa Indonesia yang telah diwariskan secara turun temurun dan dikembangkan dari generasi ke generasi, sehingga menjadi produk yang bernilai ekonomi tinggi, memberikan manfaat dan menjadi kebanggaan sebagai bagian dari identitas bangsa. Melalui kegiatan ini, pelaku UJR dan UJG diharapkan dapat menerapkan pengolahan yang memperhatikan kebersihan dan kesehatan serta dapat mengetahui bahaya dari penambahan bahan kimia obat (BKO) pada jamu. Saat ini sedang diupayakan terobosan bagi UJG dan UJR untuk mengembangkan usahanya dengan bekerjasama dengan Dinas Pariwisata untuk mengupayakan agar jamu dapat dijual di hotel-hotel.
Turut hadir dalam acara tersebut narasumber dari Balitro yang memaparkan mengenai pengenalan bahan baku segar dan bermutu baik untuk Jamu. Dikatakan bahwa syarat bahan baku segar antara lain disesuaikan dengan jenis tanaman, dipanen pada usia yang tepat, serta dengan tingkat kemasakan/ketuaan fisiologis, utuh, tidak rusak dan tidak terkena penyakit. Standar acuan bahan baku mengikuti Standar Nasional Indonesia.
Sementara itu narasumber dari Ditjen Binfar dan Alkes, Dra. Nur Ratih Purnama, memberikan materi mengenai Keamanan Jamu serta Bahan Kimia Obat (BKO) dalam Jamu. Menurut narasumber, jamu yang aman tidak akan langsung dirasakan manfaatnya dan tidak mengandung BKO. Peralatan yang digunakan untuk membuat jamu harus selalu dalam keadaaan bersih serta harus aman digunakan untuk digunakan (food grade). Botol yang digunakan harus botol kaca, jika digunakan botol plastik, zat dalam botol plastik bias bereaksi dengan panas dari jamu sehingga berpengaruh pada khasiat jamu
Masih terdapatnya BKO dalam jamu menunjukkan rendahnya kepatuhan produsen terhadap ketentuan yang berlaku di bidang obat tradisional serta adanya kompetisi tidak sehat untuk lebih meningkatkan penjualan produknya. Adanya BKO dapat dicurigai bila pada penggunaan obat tradisional cepat dirasakan pengaruh/efeknya (cespleng, tokcer, mujarab) di mana hal ini jarang terjadi pada penggunaan obat bahan alam. Adanya BKO dalam jamu dapat menimbulkan resiko efek samping serius sampai kematian, dan dapat merusak citra jamu sebagai brand Indonesia.
Materi lainnya dibawakan oleh GP Jamu Jawa Barat mengena aspek pengembangan usaha obat tradisional. Dikatakan oleh narasumber, kiat pengembangan usaha jamu gendong antara lain dengan mempertahankan & memperbaiki citra/image; mempertahankan dan meningkatkan mutu/kualitas produk; meningkatkan jumlah dan jenis produk yang dijajakan; identifikasi kebutuhan konsumen/pelanggan; menjaga & meningkatkan hubungan baik dengan pelanggan; memperluas daerah pemasaran/penjualan; serta menjadi one stop shop keliling.
Ibu Dra. Herawati, narasumber dari Pusat Promosi Kesehatan, memberikan materi mengenai CTPS (cuci tangan pakai sabun) dalam upaya pembinaan usaha jamu gendong dan usaha jamu racikan. Data Riskesdas 2013 menyebutkan bahwa 30,4% rumah tangga di Indonesia memanfaatkan pelayanan kesehatan tradisional, 49% nya memanfaatkan ramuan. Praktik CTPS merupakan pendekatan kesehatan preventif yang efektif dan terbukti menurunkan risiko kematian akibat – tidak hanya Diare – namun juga penyakit berat lainnya, seperti kolera dan disentri sebanyak 48-49 %. CTPS sebelum makan mampu member kontribusi pada peningkatan status kesehatan masyarakat. Melalui sosialisasi gerakan CTPS dapat meningkatkan kolaborasi lintas sektor/intern pengusaha jamu gendong dan pengusaha jamu racikan, peran serta ormas sebagai agent of change, kemitraan dengan swasta/dunia usaha.
Kegiatan ini menjadi penting di tengah upaya untuk meningkatkan penggunaan jamu agar dapat lebih berperan dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan meningkatkan ekonomi rakyat. Diharapkan ke depannya, para pelaku UJG dan UJR dapat meningkatkan pengetahuannya dalam penyediaan jamu yang aman tanpa BKO, bermutu dan berkhasiat.