“Dinas Kesehatan Provinsi dapat menerbitkan STRTTK bagi lulusan sekolah menengah farmasi (baik yang telah bekerja sebelum adanya Undang-Undang Tenaga Kesehatan maupun lulusan baru setelah UU tenaga kesehatan) dengan masa berlaku hingga Oktober 2020”
Ketua Komite Farmasi Nasional Drs. Purwadi, Apt., M.M., M.E. membuka Rapat Koordinasi Komite Farmasi Nasional yang diselenggarakan di hotel Singgasana Surabaya Rabu malam (3/8/16), kegiatan ini akan berlangsung dari tanggal 3 – 6 Agustus 2016.
Turut hadir dalam acara pembukaan tersebut Sekretaris Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Dr. Dra. Agusdini Banun Saptaningsih, Apt. MARS. dan Sekretaris Dinkes Provinsi Jawa Timur, Hertanto O, SKM, Msi. Dan para undangan yang terdiri dari perwakilan Dinas kesehatan Provinsi, PD IAI dan Universitas.
Ini adalah Rapat Koordinasi Komite Farmasi Nasional ke-4 yang terselenggara sejak tahun 2013 dari awal KFN yang dibentuk pada tahun 2011 dengan tujuan untuk menjamin dan meningkatkan mutu tenaga kefarmasian dalam melakukan pekerjaan kefarmasian dimana pada rapat koordinasi sebelumnya di tahun 2015 telah dibahas mengenai “Kapasitas untuk menyediakan pelayanan kefarmasian yang baik tergantung pada dua hal yaiu tenaga kerja yang kompeten dan tenaga akademis yang mampu mencetak tenaga kerja yang kompeten tersebut”.
Pembinaan dan pengawasan harus diperkuat antara Pusat, Daerah, BPOM, Organisasi Profesi, dan masyarakat. KFN sendiri akan turun ke lapangan untuk melihat Apoteker Praktik di lapangan. Dalam Rapat Koordinasi kali ini akan mencoba menyajikan pembahasan antara Apoteker dengan Tenaga Teknis Kefarmasian secara berimbang dan diharapkan dapat menghasilkan rumusan untuk diimplementasikan oleh tenaga kefarmasian sehingga mampu menempatkan (kembali) kepercayaan masyarakat pada profesi Apoteker.
Pada Rapat Koordinasi tahun 2016 ini akan membahas beberapa masalah yang terkait dalam penerbitan Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA), di antaranya STRA bagi Apoteker lulusan luar negeri yang akan melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia, pemalsuan STRA, dan soal uji kompetensi sebagai prasyarat kepengurusan STRA.
Komite Farmasi Nasional sebagai lembaga nonstruktural yang bertanggung jawab kepada Menteri Kesehatan melalui Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan, bertugas menjaga dan meningkatkan mutu tenaga kefarmasian, salah satunya melalui registrasi Apoteker. Kegiatan Pembahasan dan Penilaian STRA merupakan dukungan manajemen terhadap pelayanan publik, khususnya kepada tenaga kefarmasian.
Salah satu yang menjadi pembahasan adalah Hal lain yang banyak dipertanyakan di daerah adalah pemberian STRTTK bagi lulusan sekolah menengah farmasi. Dengan mengacu pada Undang-Undang Tenaga Kesehatan No. 36 tahun 2014 dan Surat Kepala BPPSDM Kesehatan yang menjawab pertanyaan dari beberapa Dinas Kesehatan Provinsi, Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan membuat Surat Edaran yang pada intinya menyatakan bahwa Dinas Kesehatan Provinsi dapat menerbitkan STRTTK bagi lulusan sekolah menengah farmasi (baik yang telah bekerja sebelum adanya Undang-Undang Tenaga Kesehatan maupun lulusan baru setelah UU tenaga kesehatan) dengan masa berlaku hingga Oktober 2020. Bila setelahnya asisten tenaga kesehatan tersebut tidak meningkatkan kualifikasi pendidikannya sampai minimal jenjang Diploma Tiga, maka STRTTK yang bersangkutan dinyatakan tidak berlaku.
Registrasi tenaga kesehatan oleh negara merupakan pencatatan resmi sebagai bentuk pengawasan terhadap tenaga kesehatan dalam wilayah tertentu. Kekuatan hukum registrasi tenaga kesehatan jelas diatur dalam undang-undang. Hukum pidana akan dikenakan kepada tenaga kesehatan yang dengan sengaja menjalankan praktik tanpa memiliki STR.
STRA dapat bersifat fakultatif maupun obligatif. Seorang Apoteker yang bekerja tidak dalam ruang lingkup pekerjaan kefarmasian, tidak wajib memiliki STRA. Di luar itu, Apoteker wajib terregistrasi di KFN. Pada tahun 2011, dimana terjadi peralihan Surat Penugasan (SP) ke STRA, KFN mencatat sejumlah 30.073 Apoteker di Indonesia. Pada tahun 2016, tahun registrasi ulang pertama, sampai dengan akhir Juli yang lalu, baru 11.273 Apoteker yang mengajukan perpanjangan STRA. Hal ini menimbulkan beberapa presumsi. Apakah banyak Apoteker yang tidak terpapar aturan registrasi ulang? Apakah hanya 38% Apoteker ‘lawas’ yang masih berada di Indonesia (sisanya bekerja di luar negeri, bekerja di luar lingkup pekerjaan kefarmasian, atau meninggal dunia).
Ketersediaan Apoteker terus didukung oleh 28 ‘plus’ perguruan tinggi farmasi dengan program studi Apoteker. Ke-28plus institusi ini terus memproduksi Apoteker ‘baru’ yang akan menutupi penurunan jumlah Apoteker ‘lawas’. Segera, akan ada beberapa Perguruan Tinggi yang akan menambah jumlah Apoteker di Indonesia.
Angka 3.768 Apoteker yang lulus pada tahun 2012 melonjak ke 5.173 pada tahun 2015. Total Apoteker ‘baru’ ditambah Apoteker yang melakukan registrasi ulang per akhir Juli 2016 adalah 32.386 Apoteker. Angka ini memberikan perbandingan Apoteker dengan jumlah penduduk di Indonesia pada ratio 1:7.700, sementara rasio nasional 1 : 11.111 (tahun 2014, Kepmenko Kesra No. 54 tahun 2013).
Sebagian besar perguruan tinggi memiliki kecenderung peningkatan jumlah lulusan Apoteker dari tahun ke tahun harapannya adalah seluruh perguruan tinggi dapat menjaga kualitas lulusannya dengan menjaga kualitas kelulusan yang terstandar.