Pada era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), untuk menjamin tercapainya kendali mutu dan kendali biaya, Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan berperan untuk menyediakan sumber informasi data terkait analisis farmakoekonomi sebagai bahan masukan pengambilan kebijakan khususnya di bidang obat dan alat kesehatan. Pemanfaatan analisis farmakoekonomi sangat penting untuk menetapkan obat dan alat kesehatan yang akan digunakan oleh suatu negara dalam paket manfaat jaminan kesehatannya.
Tahun ini merupakan tahun kedua Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan melaksanakan analisis farmakoekonomi dengan melibatkan lintas program dan lintas sektor terkait. Hasil analisis farmakoekonomi ini kemudian disosialisasikan pada tanggal 28 Oktober 2017, bertempat di Hotel Aston, Jakarta. Adapun hasil analisis farmakoekonomi yang disajikan terdiri dari 3 (tiga) judul yakni:(1) Analisis Efektivitas Biaya Penggunaan Antibiotik Sefalosporin Generasi 3/4 vs Karbapenem Pada Pasien Sepsis Dengan/Tanpa Kultur, (2) Analisis Efektivitas Biaya Penggunaan Angiotensin II Receptor Blocker (ARB) vs Angiotensin Converting Enzyme (ACE) Inhibitor Pada Pasien Gagal Jantung Kronik, dan (3) Analisis Efektivitas Biaya Alteplase vs Streptokinase Pada Pasien ST Segmen Elevation Myocardial Infarction (STEMI). Sementara rumah sakit yang terlibat adalah RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, RSUP Fatmawati Jakarta, RSUP dr. Hasan Sadikin. Penelitian ini turut mengikutsertakan tim konsultan farmakoekonomi dari Universitas Gadjah Mada.
Direktur Pelayanan Kefarmasian, Dra. R. Dettie Yuliati, Apt., M.Si. selaku ketua panitia acara sosialisasi tersebut mengatakan bahwa dengan adanya analisis farmakoekonomi di fasilitas pelayanan kesehatan, kita dapat mengetahui data biaya obat dan alat kesehatan, perbandingan biaya dan manfaat dan dapat meningkatkan kualitas hidup pasien serta dapat meningkatkan kendali mutu dan biaya. “Hasil analisis farmakoekonomi yang disampaikan tersebut dapat menunjukkan capaian instansi yang bersangkutan dan menambah nilai akreditasi dari rumah sakit, sehingga dapat mendukung upaya pelayanan kesehatan khususnya dalam penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional”, lanjutnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Dra. Maura Linda Sitanggang, Ph.D., yang secara resmi membuka acara tersebut menyatakan apresiasinya terhadap Tim kerja analisis farmakoekonomi yang telah mampu bekerja dengan baik sesuai dengan kapasitas dan kompetensinya masing-masing sehingga kegiatan analisis farmakoekonomi obat dan alat kesehatan di fasilitas kesehatan selesai tepat waktu.
“Hasil rekomendasi ini diharapkan dapat dimanfaatkan dalam pemilihan obat Fornas dan dapat ditindaklanjuti oleh Komite Penilaian Teknologi Kesehatan (KPTK), melalui proses appraisal dan penyusunan Nota Rekomendasi Kebijakan yang akan disampaikan kepada Menteri Kesehatan”, demikian harapan Ibu Maura.
Kegiatan analisis farmakoekonomi ini kiranya dapat dilanjutkan secara berkesinambungan untuk analisis utilitas biaya sampai analisis dampak anggaran (budget impact analysis) untuk obat yang sama atau analisis efektivitas biaya untuk obat lainnya, yang diharapkan akan bermanfaat dalam pencapaian akreditasi rumah sakit dan dalam proses pemilihan obat dan alat kesehatan kebutuhan rumah sakit itu sendiri.
Leave a Comment