Pada tanggal 20-23 Mei 2015 telah dilaksanakan Rapat Konsultasi Teknis Program Oblik dan Perbekalan Kesehatan yang berlangsung di Hotel Sahid, Solo. Acara ini diikuti oleh perwakilan Dinas Kesehatan Provinsi seluruh Indonesia dan peserta lintas program serta menghadirkan berbagai narasumber antara lain Direktur Bina Oblik dan Perbekes, Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan (P2JK), Kementerian Dalam Negeri, Sesditjen Bina Gizi dan KIA serta Guardian Y. Sanjaya dari SIMKES Fakultas Kedokteran UGM.
Rakontek tersebut mengangkat tema Pemantapan Pelaksanaan Program Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan dalam mendukung ketersediaan obat di era JKN yang sejalan dengan tema Rapat Konsultasi Nasional yang telah diadakan Ditjen Binfar beberapa waktu lalu. Materi yang diangkat pada pertemuan ini antara lain mengenai Tata laksana pemantauan indikator, kebijakan pemanfaatan dana kapitasi di fasilitas kesehatan tingkat primer, Implementasi Undang-undang nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dukungan obat dan perbekes dalam rangka penurunan AKI, AKB dan prevalensi gizi buruk di 9 provinsi prioritas, serta pemantapan penerapan e-logistik.
“Kewajiban dalam menjamin ketersediaan obat dan vaksin tidak hanya menjadi kewajiban Pemerintah Pusat, akan tetapi merupakan kewajiban semua tingkat Pemerintahan sesuai dengan kewenangannya. Obat dan vaksin Program Kesehatan yang disediakan oleh Pemerintah Pusat melalui APBN tidak akan berarti apabila tidak tersedia pada fasilitas kesehatan pada waktu dibutuhkan. Peningkatan koordinasi yang lebih baik antara kita semua sangat dibutuhkan untuk menjamin obat dan vaksin tersedia pada fasilitas kesehatan dalam jumlah yang cukup dan pada waktu yang dibutuhkan”, demikian disampaikan Dirjen Binfar dan Alkes, Dra.Maura Linda Sitanggang, PHd, dalam arahannya pada saat Pembukaan acara.
Dipaparkan oleh ibu Dirjen bahwa arah kebijakan Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan adalah: 1) Penguatan pelayanan kefarmasian sebagai pilar pelayanan kesehatan, 2) Pendekatan rantai suplai untuk menjamin aksesibilitas, 3) Regulasi dan pembinaan berbasis risiko. Arah kebijakan tersebut selanjutnya dituangkan dalam berbagai kegiatan, dengan berfokus pada sasaran strategis untuk mencapai tujuan program, yaitu: 1) Terwujudnya peningkatan ketersediaan obat dan vaksin di Puskesmas, 2) Terwujudnya kemandirian bahan baku obat, obat tradisional, dan alat kesehatan, serta 3) Terjaminnya alat kesehatan dan PKRT yang memenuhi syarat di peredaran. Ketiga tujuan ini tidak bisa berdiri sendiri, saling berkaitan. Namun pada kesempatan ini tujuan yang pertama, yaitu terwujudnya peningkatan ketersediaan obat dan vaksin di Puskesmas tentunya menjadi fokus utama. Ketersediaan obat dan vaksin atau dari sisi negatifnya, kekosongan obat dan vaksin merupakan issue yang selalu mengemuka saat berbicara mengenai pelayanan kesehatan. Apalagi jika dikaitkan dengan sistem pengadaan secara elektronik/e-purchasing yang saat ini telah memasuki implementasi pada tahun ketiga.
Direktur Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan, Dra.Engko Sosialine, Apt, menyampaikan bahwa fokus program antara lain menjamin ketersediaan obat dan perbekalan kesehatan, standarisasi harga obat, persiapan dan implementasi one gate policy dalam manajemen tata kelola obat serta implementasi e-monev katalog dan e-logistik obat. Dalam Undang-Undang nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dijelaskan bahwa tugas Pusat adalah menyediakan obat, vaksin, alkes dan suplemen kesehatan program nasional. Sementara melalui Dana DAK sub bidang pelayanan kefarmasian salah satu yang dapat dibiayai adalah penyediaan pbat dan perbekkes di daerah. Walaupun penyediaan obat dapat didanai oleh DAK, namun yang penting adalah bagaimana Daerah dapat menganggarkan sendiri Dana penyediaan obat pelayanan kesehatan dasar di daerah.
Puskesmas dapat manfaatkan dana kapitasi
Sementara itu, Kepala P2JK menyampaikan mengenai pemanfaatan dana kapitasi di Puskesmas di Era JKN. Sebanyak 143 juta penduduk telah tercatat menjadi peserta JKN, dengan porsi terbesar adalah kelompok peserta mandiri. Dalam Pasal 6 Undang-Undang nomor 17 Tahun 2003 disebutkan bahwa gubernur dan bupati memiliki otoritas dalam Pengelolaan keuangan daerah. Dalam Perpres nomor 32 tahun 2004 definisi Kas Daerah diperluas tidak sebatas RKUD tetapi termasuk di Bendahara Dana Kapitasi JKN pada FKTP sepanjang ditetapkan oleh Kepala Daerah, sehingga dalam hal ini dana kapitasi dapat langsung diterima dan dimanfaatkan oleh FKTP.
Dalam Permenkes nomor 19 Tahun 2014 disebutkan bahwa pengaturan penggunaan dana kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk jasa pelayanan kesehatan dan dukungan biaya operasional ditujukan bagi Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) milik pemerintah daerah yang belum menerapkan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum daerah (BLUD). Dana Kapitasi digunakan seluruhnya untuk jasa pelayanan kesehatan (Jaspel) meliputi Jaspel perorangan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dan tenaga non kesehatan, dan Jasa pelayanan kesehatan (jaspel) meliputi jaspel perorangan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dan tenaga non kesehatan. Jaspel di FKTP di tetapkan sekurang kurangnya 60%dari total kapitasi yg diterima dan sisanya untuk Operasional Pelayanan Kesehatan Lainnya.
Pengadaan obat, alkes dan bahan medis habis pakai dapat dilakukan melalui SKPD Dinas Kesehtan dengan mempertimbangkan ketersediaan obat alat kesehatan dan BMHP yang dialokasikan oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Belanja obat, BHP dan alkes dilaksanakan sesuai dengan Permenkes 63/2014 serta peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Kapitasi FKTP harus dilaksanakan secara efektif, efisien, transparan dan akuntabel.
Mekanisme penyediaan obat dalam rangka pelayanan JKN sebagai berikut:
Sementara itu, disela-sela pelaksanaan Rakontek Bina Obat Publik dan Perbekes, Dirjen Binfar dan Alkes berkesempatan melaksanakan kunjungan ke Dinkes Kota Surakarta serta Instalasi Farmasi untuk berdialog mengenai pelaksanaan program obat dan perbekalan kesehatan.