Salah satu program utama Kementerian Kesehatan pada Transformasi Sistem Kesehatan adalah meningkatkan ketahanan kefarmasian dan alat kesehatan. Salah satu agenda peningkatan ketahanan sektor farmasi adalah meningkatkan pemenuhan kebutuhan bahan baku obat/Active Pharmaceutical Ingredients (API) kimia, produk biologi, vaksin, dan natural (fitofarmaka) produksi dalam negeri serta peningkatan pemanfaatannya di dalam negeri maupun ekspor.
Untuk mewujudkannya, Ditjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan melalui Direktorat Ketahanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan menyelenggarakan pertemuan “Evaluasi Progress Pengembangan 10 Bahan Baku Obat Kimia Terbesar By Value yang Dikembangkan dan Diproduksi Dalam Negeri Triwulan III Tahun 2022”. Acara yang dilaksanakan pada 6 September 2022 di Jakarta ini dihadiri oleh perwakilan industri yang mempunyai dan akan mengembangkan bahan baku obat kimia dalam negeri, Pusat Kebijakan Sistem Ketahanan Kesehatan dan Sumber Daya Kesehatan, satker terkait di lingkungan Ditjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan.
![](https://farmalkes.kemkes.go.id/wp-content/uploads/2022/09/Picture8-1024x683.jpg)
Dalam laporannya, Direktur Ketahanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan Roy Himawan mengatakan, Direktorat Ketahanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan mengampu 9 IKK salah satunya adalah jumlah bahan baku obat kimia terbesar by value yang dikembangkan dan diproduksi dalam negeri.
“Dari 10 molekul obat konsumsi terbesar, saat ini baru 5 molekul obat yang bahan bakunya sudah diproduksi dalam negeri yaitu Paracetamol, Clopidogrel, Amlodipine, Omeprazole, dan Atorvastatin. Fasilitasi change source akan dilakukan untuk bahan baku obat yang telah dapat diproduksi dalam negeri. Pada tahun 2022 target utamanya adalah Atorvastatin dan Klopidogrel sedangkan untuk tahun 2023 adalah Candesartan dan Bisoprolol”, ujar Roy Himawan.
![](https://farmalkes.kemkes.go.id/wp-content/uploads/2022/09/Picture9-1.jpg)
Sementara itu, Dirjen Farmalkes Rizka Andalucia dalam sambutannya menambahkan, Ditjen Farmalkes secara aktif dan konsisten mendorong, mengawal, dan mengevaluasi proses pengembangan BBO dalam negeri, mulai dari hulu hingga ke hilir. “Di hulu, Ditjen Farmalkes selalu berkoordinasi dengan industri BBO untuk mendampingi proses pengembangan BBO hingga memperoleh sertifikat GMP dan dapat diproduksi. Ditjen Farmalkes juga berkoordinasi dengan akademisi dan industri serta lintas sektor terkait untuk mengembangkan BBO dalam negeri agar dapat diproduksi dari sumber awal ataupun intermediate-nya” ujar Dirjen Farmalkes.
Sementara di hilir, Ditjen Farmalkes mendorong industri farmasi formulasi untuk melakukan pergantian sumber bahan baku impor dengan bahan baku produksi dalam negeri melalui Program Fasilitasi Change Source Bahan Baku Obat Produksi Dalam Negeri. “Program ini merupakan salah satu bentuk komitmen pemerintah untuk terus memprioritaskan penggunaan produk dalam negeri (PDN) dan menjadi milestone dalam mewujudkan ketahanan sektor kefarmasian di tanah air, dengan tetap memperhatikan pemenuhan syarat produk yang aman, bermutu, dan berkhasiat” ungkap Dirjen Farmalkes.
E-Katalog sektoral diharapkan dapat mendukung peningkatan ketahanan sektor farmasi. Produk dalam negeri yang menggunakan bahan baku produksi dalam negeri (produk dengan nilai TKDN >50%) mendapat prioritas untuk dapat dipilih oleh user, dalam hal ini fasilitas kesehatan.
Dengan adanya jaminan pasar ini, khususnya dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah, diharapkan dapat memacu pertumbuhan ekonomi industri BBO dalam negeri juga untuk industri farmasi dapat bertransformasi menjadi industri farmasi berbasis riset untuk mendukung transformasi sistem kesehatan nasional.
Ke depan, apabila bahan baku dalam negeri telah dapat diproduksi dan kapasitasnya mencukupi kebutuhan nasional, maka arahan Bapak Menteri Kesehatan impor BBO tersebut dapat dihentikan untuk mendukung secara total industri BBO dalam negeri.