Evaluasi Implementasi Formularium Nasional (Fornas) diperlukan sebagai upaya pemantauan dan evaluasi penerapan Fornas yang dilakukan secara terus menerus untuk menilai ketaatan, dampak dan kendala penerapan Fornas dalam pelaksanaan.
Fornas digunakan sebagai acuan bagi tenaga medis untuk menetapkan pilihan obat yang tepat, paling efficacious, dan aman, dengan harga yang terjangkau serta mendorong penggunaan obat secara rasional untuk mewujudkan patient safety dalam pelaksanaan Program JKN.
“Workshop ini sangatlah penting karena kita memiliki Fornas yang dimanfaatkan dan menjadi panduan bagi Rumah Sakit dan Puskesmas dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan dalam pemberian obat” kata Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan L. Rizka Andalusia saat membuka Workshop Evaluasi Implementasi Fornas di Rumah Sakit dan Puskesmas Seri Ke-2 di Jakarta pada Kamis (19/10).
Kegiatan yang dilaksanakan secara hybrid ini diikuti oleh 2000 an peserta yang terdiri dari perwakilan dari Kementerian Kesehatan, WHO Indonesia, BPJS Kesehatan, Ketua dan Tim Fornas, Ikatan Apoteker Indonesia, Kepala dan Seksi Farmasi Dinas Kesehatan Provinsi/Kab/Kota, Direktur, Kepala Instalasi Farmasi, Ketua Komite Medik dan Ketua Komite Farmasi & Terapi serta tenaga kefarmasian yang bertugas di Rumah Sakit dan Puskesmas di seluruh Indonesia.
Dalam sambutannya Dirjen Rizka mengatakan bahwa penyusunan formularium ini telah dilakukan dengan berbagai kajian mendalam baik dari sisi scientific maupun dari sisi ekonomi sehingga kendali mutu dan kendali biaya dalam pelayanan kesehatan JKN dapat tercapai, khususnya dalam bidang penggunaan obat-obatan.

“Fornas merupakan living document yang bersifat dinamis, yang dapat diperbaharui secara berkala sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan evidence based medicine terbaru berdasarkan pertimbangan manfaat dan keamanan, untuk menjamin tersedianya obat yang aman, berkhasiat, dan bermutu dalam penyelenggaraan program JKN ” ujar Rizka.
Lebih lanjut ditegaskan Rizka, bahwa presentase RS yang menggunakan obat sesuai Fornas, menjadi salah satu indikator dalam RPJMN 2020 – 2024. “Tentunya capaian ini bukan hanya sekedar capaian angka saja tetapi juga merupakan benar-benar capaian yang dapat bermamfaat, benar-benar dapat mendukung proses pelaksanaan pelayanan kesehatan yang berpedoman kepada kendali mutu dan kendali biaya” tuturnya.
Dalam kesempatan ini Rizka juga mengucapkan terima kasih kepada WHO Indonesia atas kerjasama dan dukungannya dalam pelaksanaan kegiatan evaluasi implementasi penerapan fornas di RS dan Puskesmas.
Direktur Pengelolaan dan Pelayanan Kefarmasian, Agusdini Banun Saptaningsih menjelaskan terdapat lima kriteria pemilihan obat yang menjadi prinsip pada penyusunan fornas, pertama menurut Agusdini harus memiliki izin edar dan indikasi yang disetujui oleh Badan POM, kedua memiliki khasiat dan keamanan terbaik berdasarkan bukti ilmiah mutakhir dan valid, ketiga memiliki benefit-risk ratio yang paling menguntungkan pasien dan benefit-cost ratio yang tinggi, keempat sangat dibutuhkan dalam pelayanan kesehatan masyarakat tetapi belum memiliki ijin edar, termasuk obat piatu (orphan drug), serta yang tidak mempunyai nilai komersial, kelima tidak termasuk obat tradisional dan suplemen makanan.
“Dengan penerapan Fornas sebagai kendali mutu dan kendali biaya maka pelayanan kesehatan menjadi lebih bermutu dengan belanja obat yang terkendali, pelayanan kesehatan kepada masyarakat makin efektif dan efisien, dan memudahkan perencanaan dan penyediaan obat di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan” ungkap Agusdini.
Agusdini menambahkan pada Fornas dilakukan peninjauan paling lama dua tahun sekali. Diantara perubahan edisi Fornas dimungkinkan untuk melakukan addendum bila didapatkan obat yang sangat dibutuhkan atau ada pembuktian baru yang mendukung perlunya perubahan pada Fornas yang berlaku.
“Revisi Fornas dilakukan melalui tahapan kegiatan yang terdokumentasi, transparan dan akuntabel dengan melibatkan berbagai stakeholder terkait termasuk Komite Penilaian Teknologi Kesehatan dan atau Dewan Pertimbangan Klinik, mempertimbangkan efficacy, benefit-cost ratio, benefit-risk ratio dan availability, serta kajian Analisa Farmakoekonomi “ pungkas Agusdini.