Rapat Konsultasi Nasional (Rakonas) Tahap II yang dilaksanakan di Palu pada 31 Maret – 2 April 2015 dengan tema “Pemantapan Pelaksanaan Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan dalam Mendukung Ketersediaan Obat dan Peningkatan Kualitas Pelayanan Kesehatan” bertujuan untuk meningkatkan koordinasi dan sinergisme antara pusat dan daerah dalam rangka peningkatan Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan Tahun 2015 guna mendukung pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional dan pencapaian MDGs.
Rapat Konsultasi Nasional kali ini merupakan forum yang strategis untuk mengawali pelaksanaan pembangunan kefarmasian dan alat kesehatan di periode 2015-2019, atau periode RPJMN ke-III dalam pembangunan jangka panjang (2004-2025).
Sebelumnya, telah dilaksanakan Rakerkesnas di tiga regional pada awal tahun 2015 ini. Rakerkesnas tersebut telah menghasilkan rekomendasi kepada Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan untuk melanjutkan dan meningkatkan upaya mewujudkan aksesibilitas, mutu, dan kemandirian sediaan farmasi dan alat kesehatan, terutama dalam rangka mensukseskan program-program prioritas Kemenkes seperti Program Indonesia Sehat dan Program Nusantara Sehat.
Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan telah melakukan upaya-upaya strategis dan inovatif pada periode pembangunan kesehatan 2010-2014 kemarin. Upaya-upaya tersebut dilaksanakan dengan terstruktur untuk mengatasi tantangan dan mencapai target program yang telah diamanahkan dalam RPJMN maupun Renstra Kementerian Kesehatan.
Pada periode 2010-2014, Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan telah dapat meningkatkan produksi bahan baku obat dan obat dalam negeri, mutu sarana produksi-distribusi obat dan alkes, serta keamanan-mutu-manfaat alkes dan PKRT yang beredar. Hal ini ditunjukkan dengan tercapainya target jumlah BBO/OT produksi di dalam negeri sebanyak 80 jenis di tahun 2014, meningkatnya sarana distribusi alkes yang memenuhi persyaratan distribusi sampai 75% (dari semula 50%), dan bertambahnya persentase produk alkes PKRT yang beredar memenuhi persyaratan menjadi 95,86% (dari semula 70%).
Seiring pelaksanaan program, terdapat tantangan-tantangan baru yang akan menjadi perhatian di periode 2015-2019. Produksi obat, alkes, dan PKRT masih didominasi oleh impor, sehingga mengurangi kemandirian, ketahanan nasional, serta keleluasaan pengambilan kebijakan di aspek ini. Peran industri alkes domestik hanya 15% dari seluruh produk yg ada di e-catalogue. Sejalan dengan Nawa Cita Presiden, pemerintah perlu memperbaiki hal ini untuk mendorong terwujudnya kemandirian di sektor produksi obat, alkes, dan PKRT.
Selain itu, diperlukan penguatan kelembagaan pengawasan alkes dan PKRT, mengingat dinamika regulasi yang terjadi, baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional. Instrumen pengawasan pra dan pasca pemasaran harus segera diperkuat, sehingga upaya menjamin keamanan-mutu-manfaat alkes PKRT tidak terhambat.
Dari sisi produksi obat, regulasi pemerintah mengenai pelayanan kefarmasian di skema JKN dapat mendorong peningkatan produksi obat generik. Prinsip cost-effective yang dianut dalam regulasi tersebut mendorong pengutamaan obat generik sebagai manfaat pelayanan yang ditanggung oleh BPJS, sehingga mendorong tumbuhnya produksi obat generik, dan pemakaiannya di pelayanan kesehatan. Hal ini merupakan capaian positif program, dalam memasyarakatkan penggunaan obat generik. Tantangan berikutnya adalah, intervensi untuk meningkatan citra/penilaian masyarakat terhadap obat generik.
Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan juga telah meraih kemajuan dalam manajemen logistik obat dan perbekkes. Ketersediaan obat dan vaksin telah mencapai 100% di tahun 2014 (dari semula 82% di tahun 2010). Instalasi Farmasi Kab/Kota yang memenuhi standar juga telah meningkat menjadi 87,5% (dari semula 32,8%). Hal ini menjadi pendukung bagi pelayanan kesehatan, untuk menjamin tersedianya obat, vaksin, dan perbekkes dalam jumlah dan jenis sesuai kebutuhan.
Tantangan yang harus diantisipasi Program dalam periode 2015-2019 adalah disparitas ketersediaan obat antar region, provinsi, dan kabupaten/kota. Salah satu penyebab terjadinya hal ini adalah belum optimalnya pemanfaatan sistem informasi terkait manajemen logistik, misal e-logistic, pemantauan e-purchasing, sampai dengan pengendalian harga obat. Ketersediaan obat dan vaksin akan dipantau sampai ke tingkat Puskesmas. Selain itu, kualitas manajemen logistik obat dan perbekkes juga menjadi perhatian, mengingat semakin banyak pihak yang menyadari arti penting pengelolaan obat satu pintu (terpadu). Dengan demikian, menjadi hal yang prioritas bagi kita untuk meningkatkan manajemen logistik obat dan perbekkes, terutama di sektor publik. [iz-154]