Jakarta, 19 September 2023.
Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kemenkes RI memulai kegiatan Public Hearing Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Turunan UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 untuk mendapatkan pandangan dan masukan dari masyarakat serta pemangku kepentingan sebagai bagian dari partisipasi etika yang bermakna (meaningful participation).
Pertemuan digelar di Jakarta secara hybrid dan akan diselenggarakan secara serial pada 19 s.d. 22 September 2023, diawali dengan pembahasan topik Ketersediaan, Pemerataan, dan Keterjangkauan Perbekalan Kesehatan serta Praktik Kefarmasian dan Penggolongan Obat.
Sekretaris Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Dita Novianti dalam sambutannya menyampaikan “Sejak dikeluarkannya UU Kesehatan Nomor 17 ini, banyak sekali mengundang reaksi dari masyarakat, salah satunya adalah banyaknya pertanyaan mengapa tidak diatur dalam UU, padahal sejogyanya ketika UU nanti dilaksanakan akan diikuti dengan peraturan turunannya yang salah satunya adalah dari hasil RPP”, ujar Dita.
Sesditjen berharap partisipasi public ini dapat disusun untuk mengakomodir masukan dari masyarakat secara luas dan selengkap-lengkapnya, agar masyarakat mendapatkan hak yang sama, yaitu hak untuk didengarkan pendapatnya, untuk dipertimbangkan pendapatnya dan untuk mendapat penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan.
Direktur Pengelolaan dan Pelayanan Kefarmasian, Agusdini Banun Saptaningsih menyampaikan bahwa di UU No. 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan yang baru disahkan mendelegasikan 108 pasal untuk diatur dengan PP, PerPres dan Permenkes, dimana 101 pasal didelegasikan untuk diatur dengan Peraturan pemerintah yang disimplikasikan menjadi satu RPP yang mengatur beberapa hal, salah satunya adalah terkait kefarmasian, alat kesehatan dan perbekalan kesehatan.
“Pengelolaan perbekalan kesehatan ditujukan untuk memenuhi ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan perbekalan kesehatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan baik pada kondisi normal maupun kondisi KLB, wabah, dan bencana”, jelas Agusdini pada sesi Perbekalan Kesehatan.
Agusdini mengatakan bahwa Pemerintah Pusat dan Daerah bertanggung jawab dalam pengelolaan perbekalan kesehatan yang diatur dalam pasal 900 s.d. 901. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat membentuk fasilitas pengelolaan kefarmasian yang merupakan sarana pengelola sediaan farmasi, alat kesehatan, dan perbekalan kesehatan lain milik Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melakukan pengendalian ketersediaan melalui Sistem Informasi Kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional untuk memastikan tidak terjadi kelebihan dan kekurangan/kekosongan Perbekalan Kesehatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan.
Lebih lanjut Agusdini menyampaikan, Pemerintah sudah mulai membangun dan menerapkan satu platform yaitu satu sehat logistic (digital inventory nasional) untuk monitoring stok obat dan BMHP nasional dan tracking transaksi serta distribusi obat dan BMHP per daerah. Saat ini secara bertahap pengelolaan vaksin seluruh Indonesia dilakukan satu pintu melalui aplikasi Sistem Monitoring Imunisasi (Inventory) Logistik secara Elektronik (SMILE) dan dapat dipantau secara real time. Sedangkan untuk obat AIDS, TB, dan Malaria (ATM) sudah mulai diterapkan di 3 provinsi yaitu Provinsi Papua, NTT dan DIY.
Disesi berikutnya, Agusdini memaparkan terkait penggolongan obat yang terdiri dari obat dengan resep dan obat tanpa resep, yang mana pembedaan kategori obat berdasarkan risiko penggunaan yang bertujuan untuk menjamin keamanan dan ketepatan dalam penggunaan, penyerahan, dan distribusi obat.
“Pelayanan obat dengan resep dapat menggunakan resep elektronik dan harus melalui Sistem Informasi Kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional”, tegas Agusdini.
Agusdini menambahkan untuk penetapan dan perubahan penggolongan obat, dalam hal terdapat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, Menteri dapat menetapkan penggolongan obat dan/atau melakukan perubahan penggolongan obat selain penggolongan. Dalam menetapkan penggolongan obat dan/atau melakukan perubahan penggolongan dapat melibatkan kementerian/lembaga terkait, praktisi, dan akademisi dan ketentuan lebih lanjut mengenai penggolongan obat diatur dengan Peraturan Menteri.
“Untuk obat tanpa resep dalam hal ini obat bebas dan obat bebas terbatas dapat diakses masyarakat di sarana fasilitas kefarmasian maupun sarana fasilitas lain (hypermarket, swalayan, dan minimarket/HSM). Penetapan obat tersebut akan diatur lebih lanjut di Permenkes.” lanjut Agusdini.
Kemenkes akan terus menghimpun masukan dan aspirasi dari masyarakat seluas-luasnya. Masyarakat dapat mengikuti kegiatan ini melalui youtube Kementerian Kesehatan RI dan berpartisipasi aktif dengan memberikan masukan maupun usulan melalui laman website https://partisipasisehat.kemkes.go.id/ selama proses penyusunan RPP Kesehatan berlangsung.Kegiatan public hearing Ditjen Farmalkes masih akan berlanjut hingga Jumat, 22 September 2023 dengan melibatkan stakeholders dari berbagai kementerian/lembaga, organisasi profesi, asosiasi pelaku usaha, asosiasi, komunitas dan yayasan, tim ahli, dinas Kesehatan dan masyarakat