Denyut nadi industri farmasi terletak pada kelancaran impor bahan baku obat. Industri farmasi bisa dibilang sektor yang unik. Manakala sektor lain butuh gelontoran dana yang mahal untuk aktivitas produksi, tidak demikian dengan farmasi. Bisnis di bidang ini justru memerlukan dana yang lebih banyak untuk riset dan pengembangan. Guna mendapatkan formula racikan obat untuk penyakit tertentu butuh riset mendalam nan berbiaya mahal.
Industri farmasi Indonesia dituntut mampu bersaing sehingga tak hanya menjadi pasar. Namun, kendala nilai tukar rupiah yang melemah membebani industri ini, pasalnya 90% bahan baku obat harus bergantung pada impor. Kemandirian Industri farmasi menjadi kunci tak hanya untuk bersaing, namun juga untuk mensejahterakan rakyat di bidang kesehatan.
“Kemandirian bahan baku obat sudah merupakan program pemerintah, bahkan tercantum dalam Rencana Strategis Kementerian Kesehatan sejak tahun 2010, namun dalam pelaksanaannya tidak dapat dilakukan hanya oleh Kementerian Kesehatan, namun memerlukan partisipasi dari berbagai stakeholder, untuk itu diperlukan sinergisme antara academic, business, government dan community (ABGC) dalam pelaksanaanya” ujar Menteri Kesehatan RI Prof. Dr. Nila Moeloek, Sp.M(K) dalam program Economic Challenges di Metro TV 26/1.
Dalam dialog yang dipandu oleh Suryopratomo tersebut menghadirkan Nila Moeloek (Menteri Kesehatan), Harjanto (Dirjen Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka Kementerian Perindustrian), Johannes Setijono (Ketua Umum GP Farmasi) dan Roy Alexander Sparringa (Kepala Badan POM).
Menurut Ketua Umum GP Farmasi Johanes Setijono, Industri Farmasi masih optimis dengan perkembangan industri farmasi dalam negeri. Dalam roadmap GP Farmasi, diprediksi pangsa pasar farmasi dalam negeri mencapai Rp. 450 trilyun pada tahun 2025. “Sementara pelaku industri farmasi memelihara jaringan dengan pembuat bahan baku obat di luar negeri, pemerintah perlu mendorong masuknya investasi industri bahan baku farmasi” kata Johannes.
GP Farmasi menggarisbawahi tiga hal terkait pengembangan industri bahan baku dan penolong obat. Pertama soal ketersediaan teknologi untuk memproduksi material dasar bahan baku obat. Kedua, pemilihan bahan apa yang secara ekonomis dan ilmiah bisa dibutuhkan jangka panjang dan jumlahnya besar. Ketiga tak lain terkait insentif bagi investor.
Sedangkan Dirjen Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka Kementerian Perindustrian Harjanto mengatakan bahwa pemerintah sadar tidak mudah merangsang industri penunjang dan bahan baku farmasi. Ini sukar jika pemerintah sendiri tak berani ambil resiko turun tangan. “Harus ada stimulan agar perusahaan farmasi bikin bahan baku obat juga, ini butuh intervensi pemerintah agar mereka mau,” kata Harjanto.
Dalam program jangka pendek 2015 – 2019 Direktorat Jenderal Basis Industri Manufaktur Kemenperin tercakup soal proyek pabrik bahan baku obat berbasis migas. “Untuk membangun industri bahan baku farmasi sintetis ini harus lihat skala keekonomian. Tapi pemerintah bertanggung jawab hasilkan obat yang terjangkau harganya”, ucap Harjanto.