Masyarakat Indonesia banyak mengkonsumsi simplisia tumbuhan obat maupun ekstrak tumbuhan dalam bentuk jamu. Jamu merupakan warisan budaya bangsa Indonesia, berupa ramuan tumbuhan obat yang sudah digunakan secara turun temurun (empiris) yang terbukti aman dan memilliki manfaat bagi kesehatan. Jamu merupakan salah satu dari tiga jenis obat tradisional yang dikategorikan berdasarkan tingkat pembuktian keamanan dan manfaat selain Obat Herbal Terstandar (OHT) dan Fitofarmaka.
Peranan obat tradisional Indonesia amat penting dalam pembangunan kesehatan terkait pendekatan preventif dan promotif untuk memelihara kesehatan dan peningkatan akses masyarakat terhadap obat. Selain digunakan sebagai swamedikasi di masyarakat, Kementerian Kesehatan perlu mendorong penggunaan obat tradisional di fasilitas pelayanan kesehatan. Hal ini merupakan bentuk komitmen pemerintah dalam mendukung dan mengambil peran dalam memperkuat obat tradisional (OHT dan Fitofarmaka) untuk mampu bersaing di tingkat domestik dan global.
Penggunaan fitofarmaka di pelayanan kesehatan dapat dilakukan melalui pengadaan dengan dana kapitasi sesuai Permenkes Nomor 21 Tahun 2016 atau dengan dana DAK sesuai dengan Permenkes Nomor 3 Tahun 2022. Dalam hal obat yang dibutuhkan tidak tercantum dalam DOEN dan Fornas, dapat digunakan obat lain termasuk obat tradisional (Fitofarmaka dan OHT) secara terbatas sesuai dengan indikasi medis dan pelayanan kesehatan dengan persetujuan Kadinkes Kabupaten/Kota.
Oleh karena itu diperlukan advokasi kepada para Kepala Dinas Kesehatan maupun stakeholder lainnya untuk dapat memanfaatkan fitofarmaka di fasilitas pelayanan kesehatan dan untuk mensosialisasikan serta mempromosikan penggunaan fitofarmaka kepada kepala dinas kab/kota maupun stakeholder.
Untuk meningkatkan peran serta dan koordinasi antar stakeholder, Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan melalui Direktorat Produksi dan Distribusi Kefarmasian perlu melakukan kegiatan Peningkatan Penggunaan Fitofarmaka Kepada Pemerintah Daerah Regional Barat di Hotel Radison Medan pada 10 November 2022. Kegiatan ini dihadiri oleh peserta perwakilan dari Dinas Kesehatan Provinsi/Kabupaten/Kota, Perguruan Tinggi, Asosiasi, dan Praktisi.

Direktur Produksi dan Distribusi Kefarmasian, Agusdini Banun Saptaningsih dalam sambutannya mengungkapkan. “Saat ini terdapat 24 nomor izin edar fitofarmaka dengan 7 indikasi (immunomodulator, tukak lambung, antidiabetes, antihipertensi, melancarkan sirkulasi darah, meningkatkan kadar albumin, dan disfungsi ereksi) dan akan terus ditingkatkan pengembangannya”.
Beliau juga menambahkan bahwa untuk menjamin keberlangsungan produksi dan pengembangan fitofarmaka, perlu didukung dengan peningkatan demand fitofarmaka terutama di fasilitas pelayanan kesehatan.

Selain diadakan kegiatan webinar, sesi diskusi dan simulasi, dalam kegiatan ini juga terdapat pameran obat-obatan berbahan dasar alam yang telah mendapatkan Nomor Izin Edar (NIE) dan berlabel Fitofarmaka.