Resistensi antimikroba (Antimicrobial Resistance/AMR) telah menjadi ancaman nyata bagi kesehatan global. Kondisi tersebut menyebabkan infeksi sulit diobati sekaligus meningkatkan penyebaran penyakit menjadi lebih parah dan fatal.
Resistensi antimikroba adalah kondisi ketika mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur, dan parasit menjadi kebal terhadap obat antimikroba.
Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, dr. Azhar Jaya, menegaskan AMR telah menjadi ancaman nyata bagi kesehatan global. “Kemampuan mikroorganisme untuk bertahan terhadap antimikroba seperti antibiotik telah menyebabkan peningkatan morbiditas, mortalitas, dan pembiayaan kesehatan secara signifikan,” ujarnya saat seminar sehari memperingati World Antimicrobial Resistance Awareness Week (WAAW) di Jakarta, Kamis (21/11/2024).
Seminar tersebut merupakan kerja sama Ditjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan bersama Ditjen Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI dengan Fleming Fund sebagai mitra pembangunan. Ajang yang bertema Collaborative and Participatory Action in Tackling AMR ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan memperkuat komitmen para pemangku kepentingan untuk berkolaborasi dalam upaya pengendalian resistensi antimikroba (AMR).
“Infeksi bakteri kini menjadi penyebab kematian kedua terbesar secara global setelah penyakit jantung iskemik. Pada 2019 AMR menyebabkan 1,27 juta kematian. Jika tidak ditangani diperkirakan angka ini akan mencapai 10 juta per tahun pada 2050,” ungkap Azhar.
Ia juga memperingatkan risiko silent pandemic akibat AMR, yang memiliki tingkat kematian pada sepsis lebih tinggi dibandingkan COVID-19.
Hal senada juga dikatakan Direktur Jenderal Farmasi dan Alat Kesehatan, L. Rizka Andalucia, bahwa AMR telah menjadi perhatian global dan menjadi indikator utama dalam Sustainable Development Goals (SDGs). “Pengendalian AMR bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tenaga kesehatan, tenaga medis tetapi juga menjadi tanggung jawab masyarakat,” tegasnya.
Rizka menyoroti tantangan distribusi antibiotik di Indonesia. Ia merujuk data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 menunjukkan 22,1 persen masyarakat menggunakan antibiotik oral, baik berbentuk tablet maupun sirup dalam satu tahun terakhir. Dari angka tersebut 41 persen di antaranya memperoleh antibiotik tanpa resep.
Rizka menekankan pentingnya pengawasan ketat terhadap distribusi antimikroba di sarana pelayanan kesehatan. Ia mengungkapkan lebih dari 60% masyarakat mendapatkan antibiotik tanpa resep dari apotek atau toko obat berizin, termasuk pembelian di warung dan platform daring. Selain itu ada 18 provinsi memiliki proporsi perolehan antibiotik oral tanpa resep dokter di atas rata-rata nasional (41 persen).
“Nah, hal ini merupakan tantangan buat kami, Direktorat Jenderal Farmasi dan Alat Kesehatan untuk menertibkan pendistribusian antimikroba, terutama di sarana pelayanan kesehatan seperti apotek,” ujar Rizka.
Kementerian Kesehatan melakukan peningkatan akses dan mutu pelayanan kefarmasian, mendukung program pengendalian resistensi antimikroba, pengembangan inovasi dan teknologi, serta monitoring dan evaluasi. Hal ini dilakukan agar AMR bisa terkendali.
Dia juga menyebut pentingnya edukasi bagi tenaga kesehatan, tenaga medis, dan publik tentang penggunaan antimikroba. Oleh karena itu, kolaborasi menjadi kunci dalam penanganan isu tersebut.
“Melalui sinergi dan komitmen bersama, kita wujudkan akses yang merata dan pelayanan kefarmasian berkualitas untuk mendukung penggunaan antimikroba yang bijak, demi masa depan kesehatan yang lebih baik bagi Indonesia,” pungkas Rizka.
Dalam rangkaian acara ini dilakukan penandatanganan komitmen bersama dengan pemerintah, industri farmasi, organisasi profesi, asosiasi, dan yayasan, sebagai bentuk keseriusan kolektif dalam menghadapi AMR. Selain itu, talk show bertema “Patient and Community Engagement in Tackling AMR” digelar untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya penggunaan antibiotik yang bijak.
Seminar ini menjadi momentum strategis untuk memperkuat sinergi antar pihak dalam menghadapi ancaman global AMR. Langkah ini tidak hanya memperkuat komitmen nasional, tetapi juga menegaskan kontribusi Indonesia dalam mengatasi tantangan besar kesehatan masyarakat dunia saat ini.