Jakarta – Kementerian Kesehatan Republik Indonesia melalui Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan selenggarakan kegiatan Business Matching pada Selasa (10/12/2024) di Jakarta. Acara ini bertujuan mempertemukan produsen bahan baku tambahan obat dengan industri farmasi formulasi dan alat kesehatan cairan hemodialisa. Langkah strategis ini diharapkan dapat mendorong peningkatan penggunaan bahan baku tambahan obat produksi dalam negeri, guna memperkuat ketahanan bahan baku farmasi nasional serta meningkatkan nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).
Direktur Produksi dan Distribusi Kefarmasian, Dita Novianti, menjelaskan bahwa kegiatan ini merupakan wujud konkret dari upaya pemerintah untuk meningkatkan kemandirian bahan baku farmasi.
“Kami ingin menciptakan sinergi antara produsen bahan baku tambahan lokal, seperti garam farmasi dan ethanol pharma grade, dengan industri farmasi formulasi. Hal ini bertujuan meningkatkan TKDN produk farmasi dalam negeri dan mendukung ketahanan kesehatan nasional,” ungkap Dita.
Upaya ini sesuai dengan paradigma ketahanan kesehatan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Regulasi tersebut mewajibkan produk farmasi dan alat kesehatan untuk memprioritaskan penggunaan bahan baku dalam negeri. Selain itu, Peraturan Presiden RI Nomor 126 Tahun 2022 tentang Percepatan Pembangunan Pergaraman Nasional menegaskan bahwa kebutuhan garam farmasi nasional, yang rata-rata mencapai 5.421 ton per tahun, harus dipenuhi oleh produksi lokal paling lambat tahun 2024.

Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan, L. Rizka Andalucia, menyoroti pentingnya percepatan eksekusi kebijakan ini. “Kami telah memulai inisiatif change source, di mana bahan baku obat impor diubah menjadi bahan baku lokal. Namun, respons dari industri farmasi masih minim. Padahal pemerintah sudah menyediakan dukungan, termasuk pembiayaan change source dan percepatan registrasi melalui BPOM,” ujarnya.
Bahan baku seperti Dehydrated Alcohol juga menjadi perhatian dalam pertemuan ini. Sebagai etil alkohol yang tidak didenaturasi dengan kadar alkohol 80% atau lebih, impor bahan ini telah dibatasi melalui Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2023 dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 3 Tahun 2024. Dengan kapasitas produksi nasional garam farmasi mencapai 12 ribu ton per tahun, kebutuhan industri farmasi dapat terpenuhi melalui kerjasama yang lebih erat antara produsen bahan baku dan industri farmasi formulasi.
“Kami berharap business matching ini menghasilkan kolaborasi nyata antara pihak-pihak terkait. Industri farmasi formulasi diharapkan benar-benar memanfaatkan bahan baku lokal, sementara produsen bahan baku harus meningkatkan kualitas dan produktivitasnya untuk mencapai efisiensi,” tambah Rizka.
Acara ini mencerminkan komitmen pemerintah dalam melanjutkan agenda hilirisasi dan industrialisasi, sebagaimana tertuang dalam visi besar Asta Cita pemerintah. Kebijakan ini bertujuan meningkatkan nilai tambah produk dalam negeri dan mengurangi ketergantungan pada impor bahan baku farmasi.
Rizka menekankan bahwa upaya ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga membutuhkan peran aktif dari sektor swasta dan pelaku usaha. “Kita harus bekerja bersama untuk membangun ekosistem farmasi yang kuat dan berkelanjutan di Indonesia. Dengan eksekusi yang efektif, pertengahan tahun depan kita harus sudah melihat hasil yang nyata,” ujarnya.

Selain mendorong peningkatan penggunaan bahan baku lokal, pertemuan ini juga bertujuan menjaga stabilitas dan keberlanjutan industri farmasi nasional. “Industri farmasi formulasi harus konsisten menggunakan bahan baku dalam negeri, sementara produsen bahan baku perlu terus meningkatkan kualitas dan kapasitas produksinya,” tutup Rizka.
Kegiatan business matching ini diharapkan menjadi katalisator untuk menciptakan iklim usaha yang sehat dan inovatif, sehingga Indonesia dapat menjadi pemain utama di sektor farmasi global. Langkah ini tidak hanya memperkuat ketahanan kesehatan nasional tetapi juga mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan.