Pandemi COVID-19 menyadarkan kita akan pentingnya resiliensi sektor kesehatan. Transformasi sistem kesehatan dilakukan untuk memperbaiki permasalahan kesehatan sehingga meningkatkan kapasitas dan resiliensi sistem kesehatan. Salah satu pilar pendukung transformasi adalah pilar transformasi sistem ketahanan kesehatan terdiri dari meningkatkan ketahanan sektor farmasi dan alat kesehatan serta memperkuat ketahanan tanggap darurat dengan program prioritas untuk meningkatkan ketahanan sektor farmasi dan alat kesehatan adalah riset dan uji klinik bahan baku obat, obat, dan obat tradisional produksi dalam negeri dan produksi fitofarmaka dalam negeri.
Melalui Inpres Nomor 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan yang ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 17 Tahun 2017 tentang Rencana Aksi Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan. Pemerintah memfasilitasi pengembangan industri farmasi dan alat kesehatan ke arah produk natural, termasuk industri obat tradisional.
Oleh karena itu, untuk mendukung Inpres Nomor 6 Tahun 2016 dan Permenkes Nomor 17 Tahun 2017 serta dalam rangka mewujudkan ketahanan Industri Farmasi dalam negeri, Direktorat Produksi dan Distribusi Kefarmasian Ditjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan menggelar “Simposium Peningkatan Pemanfaatan Fitofarmaka” dan “Launching Formularium Fitofarmaka” di Jakarta Convention Center pada 30-31 Mei 2021.
Dalam laporannya, Direktur Produksi dan Distribusi Kefarmasian Agusdini Banun mengatakan, pertemuan ini direncanakan akan dihadiri oleh 100 orang peserta yang terdiri atas 34 Dinas Kesehatan Provinsi, perwakilan Rumah Sakit, Perguruan Tinggi, para Narasumber dan Komite Nasional Penyusunan Formularium Fitofarmaka, serta perwakilan Kementerian Kesehatan.
Sementara itu, dalam sambutannya Dirjen Farmalkes Rizka Andalucia, menyampaikan dalam rangka transformasi sistem kesehatan nasional, khususnya pilar transformasi sistem ketahanan kesehatan, Kementerian Kesehatan melakukan upaya untuk meningkatkan resiliensi sektor kefarmasian. Terdapat 4 pilar sediaan farmasi yang didorong untuk ditingkatkan produksinya di tanah air, yaitu active pharmaceutical ingredients (API) kimia, vaksin, biopharmaceuticals, dan fitofarmaka. Fitofarmaka merupakan produk berbasis bahan alam yang telah teruji klinis dan bahan baku yang digunakan maupun produk yang dihasilkan sudah terstandarisasi.
“Pada kesempatan ini saya juga menyampaikan bahwa Kementerian Kesehatan bersama stakeholder terkait telah menyusun suatu acuan dalam bentuk formularium yang saat ini memuat 5 item fitofarmaka dengan komposisi generik yang sama, diperuntukkan bagi sarana pelayanan dalam melakukan pemilihan dan penggunaan fitofarmaka dengan memanfaatkan DAK dan dana kapitasi tersebut”, ungkap Dirjen Farmalkes.
Saat ini pemerintah juga gencar mengkampanyekan gerakan nasional Bangga Buatan Indonesia (BBI) yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat Indonesia untuk mencintai dan menggunakan karya anak bangsa melalui Inpres No.2 Tahun 2022 tentang percepatan peningkatan penggunaan produk dalam negeri dan produk usaha mikro, usaha kecil, dan koperasi dalam rangka menyukseskan BBI pada pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah.
Pada hari kedua penyelenggaraan kegiatan “Simposium Peningkatan Pemanfaatan Fitofarmaka” dan “Launching Formularium Fitofarmaka” ditutup dengan Launching Formularium Fitofarmaka oleh Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono. Dalam sambutannya, Wamenkes menegaskan Formularium Fitofarmaka merupakan pedoman bagi sarana pelayanan kesehatan dalam pemilihan fitofarmaka untuk digunakan dalam pelayanan kesehatan melalui mekanisme penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK) dan kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
“Peningkatan Fitofarmaka sebagai salah satu unggulan produk dalam negeri merupakan rancangan yang kita tetapkan dalam menuju kemandirian pengobatan untuk masyarakat Indonesia,” kata Wamenkes.
Untuk itu, Wamenkes menekankan bahwa pemanfaatan fitofarmaka harus benar-benar dioptimalkan dalam kerangka sediaan farmasi di tanah air. Upaya yang bisa dilakukan dengan memperhatikan ketersediaan bahan baku alam. Pasalnya, Fitofarmaka harus menggunakan bahan baku asli Indonesia, diproduksi di Indonesia, dan memenuhi standar yang ditetapkan.
Indonesia sendiri memiliki potensi sumber daya melimpah, yang bisa dimanfaatkan dalam pengembangan obat tradisional dan mengurangi ketergantungan impor diantaranya memiliki hutan tropis sekitar 142 juta hektar yang diperkirakan mempunyai 28 ribu spesies tumbuhan dan rumah dari 80% tumbuhan obat dunia.
Sekitar 2.848 spesies tumbuhan obat dengan 32.014 ramuan obat tradisional sudah dimanfaatkan sebagai salah satu metode pengobatan di Indonesia.
“Ini telah memberikan kontribusi bagi 270 juta penduduk Indonesia yang 82,3% adalah peserta JKN,” terangnya.
Formularium fitofarmaka yang telah disusun memuat 5 item fitofarmaka dengan komposisi generik yang sama (jumlah yang telah mendapatkan izin edar adalah 24 Fitofarmaka dari 6 terapeutik area (immunomodulator, tukak lambung, antidiabetes, antihipertensi, pelancar sirkulasi darah, dan meningkatkan kadar albumin).
“Item ini nanti akan masuk ke LKPP, kemudian bisa dibeli oleh BPJS Kesehatan, sehingga bisa diresepkan dalam pengobatan sehari-hari,” terangnya. Wamenkes berharap Formularium Fitofarmaka ini dapat mengoptimalkan pemanfaatan fitofarmaka untuk pelayanan kesehatan yang pada akhirnya dapat meningkatkan ketahanan kesehatan khususnya kemandirian sediaan farmasi di tanah air.