Dalam rangka transformasi sistem kesehatan nasional, khususnya pilar transformasi sistem ketahanan kesehatan, Kementerian Kesehatan melakukan upaya untuk meningkatkan resiliensi sektor kefarmasian. Terdapat 4 pilar sediaan farmasi yang didorong untuk ditingkatkan produksinya di tanah air, yaitu active pharmaceutical ingredients (API) kimia, vaksin, biopharmaceuticals, dan natural.
Indonesia memiliki sekitar 143 juta hektar hutan tropis, diperkirakan mempunyai 28 ribu spesies tumbuhan. Indonesia juga sebagai rumah dari 80% tumbuhan obat dunia yang berpotensi untuk dimanfaatkan khususnya dalam pengembangan obat tradisional dan mengurangi ketergantungan impor. Salah satu strategi resiliensi sektor farmasi adalah pengembangan jamu dan OHT menjadi fitofarmaka berdasarkan terapeutik area dan ketersediaan bahan alam. Fitofarmaka merupakan produk berbasis bahan alam yang telah teruji klinis dan bahan baku yang digunakan maupun produk yang dihasilkan sudah terstandarisasi
Dalam upaya menindaklanjuti dan mensinergiskan langkah dalam percepatan pengembangan produk fitofarmaka, Dit. Ketahanan Kefarmasian dan Alkes mengadakan FGD Koordinasi ABGCI Percepatan Pengembangan Produk dan Peningkatan Daya Saing Fitofarmaka pada Selasa,21 Juni 2022, dihadiri oleh 65 Peserta luring yang terdiri dari industri yang mempunyai dan akan mengembangkan produk fitofarmaka, peserta Kementerian Kesehatan, BPOM, BRIN, Perguruan Tinggi, Asosiasi (GP Jamu) dan peserta daring yaitu Industri yang mempunyai dan akan mengembangkan produk fitofarmaka dan perguruan tinggi yang berada di luar Jakarta.
Dalam laporannya, Ketua Tim Kerja Pengembangan dan Fasilitasi Hilirisasi Bahan Baku Dan Sediaan Fitofarmaka Dan Produk Biologi Dalam Negeri Refiandes menyampaikan, kegiatan ini bertujuan untuk memetakan progres terkini pengembangan produk fitofarmaka di Indonesia., mengidentifikasi permasalahan pengembangan produk fitofarmaka di Indonesia serta memberikan rekomendasi percepatan pengembangan produk dan peningkatan daya saing fitofarmaka yang akan dilakukan oleh para stakeholder terkait upaya percepatan pengembangan produk dan peningkatan daya saing fitofarmaka.
Dirjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan L. Rizka Andalucia, berkesempatan memberikan arahan sekaligus membuka secara resmi kegiatan ini. Dirjen menyampaikan, keanekaragaman hayati Indonesia yang tinggi merupakan potensi sehingga diharapkan bahan baku fitofarmaka harus sudah bisa diproduksi lokal. “Harapan saya, bahan baku natural dapat kita produksi secara mandiri di dalam negeri karena kita memiliki banyak potensi”, kata Dirjen. Dirjen juga menyampaikan, terkait pengembangan produk fitofarmaka terdapat 3 key point yang harus dilakukan yaitu: Meningkatkan demand fitofarmaka; Peningkatan produksi dan pengadaan fitofarmaka serta Peningkatan riset obat tradisional dan fitofarmaka. Upaya percepatan pengembangan dan peningkatan daya saing produk fitofarmaka diperlukan kerjasama dari semua pihak baik dari Pemerintah, Akademisi/Lembaga Riset, Industri dan Masyarakat. Penguatan regulasi, riset, peningkatan kompetensi SDM, pemberian insentif bagi industri serta koordinasi dan sinergitas yang erat sangat diperlukan dalam upaya peningkatan ini.