Terjadinya peristiwa pandemi COVID-19 yang menyerang seluruh penjuru dunia, mengakibatkan kebutuhan akan obat-obatan dan alat kesehatan meningkat. Industri farmasi dan alat kesehatan di seluruh dunia dituntut untuk memproduksi dalam volume yang lebih besar dan lebih cepat di tengah pandemi yang terus berlangsung agar dapat mengiringi jumlah permintaan yang besar. Tentunya strategi impor obat-obatan dan alat kesehatan terus diupayakan untuk memastikan ketersediaan stok dalam negeri. Namun kita tidak bisa hanya mengharapkan produk impor, oleh karena itu pemerintah Indonesia memutuskan bahwa resiliensi perlu dilakukan, terutama di bidang kesehatan. Salah satunya adalah mewujudkan kemandirian di bidang farmasi dengan memproduksi obat-obatan buatan negeri sendiri melalui pemanfaatan bahan-bahan alam sebagai bahan baku yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji pra klinik dan uji klinik serta telah distandardisasi yang disebut Fitofarmaka.
Menindaklanjuti Instruksi Presiden No. 2 Tahun 2022 tentang Percepatan Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri dan Produk Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi dalam Rangka Menyukseskan Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (BBI), Ditjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan melalui Direktorat Produksi dan Distribusi Kefarmasian melangsungkan acara “Promosi Penggunaan Fitofarmaka kepada Pemerintah Daerah” dan “Peningkatan Penggunaan Fitofarmaka di Fasilitas Pelayanan Kesehatan” sebagai upaya peningkatan penggunaan Fitofarmaka di fasilitas pelayanan kesehatan pasca diterbitkannya Kepmenkes Nomor HK.01.07/MENKES/1163/2022 tentang Formularium Fitofarmaka.

Saat ini, ini terdapat 24 produk fitofarmaka yang terbagi dalam 7 kategori indikasi. Pengembangan dan peningkatan Fitofarmaka tentunya membutuhkan kerja sama berbagai pihak dalam realisasinya, salah satunya adalah peran pemerintah daerah untuk mendorong pemanfaatan formularium fitofarmaka sebagai acuan penggunaan fitofarmaka tersebut di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan, serta melakukan promosi, edukasi, dan advokasi. Penggunaan fitofarmaka dan obat herbal terstandar di fasilitas pelayanan kesehatan telah diatur dalam Permenkes No. 21 tahun 2016 tentang Penggunaan Dana Kapitasi JKN untuk Jasa Pelayanan Kesehatan dan Dukungan Biaya Operasional pada FKTP Milik Pemda. Selain itu, penggunaan fitofarmaka dan obat herbal terstandar di fasilitas pelayanan kesehatan dapat melalui pemanfataan dana alokasi khusus, sesuai dengan Permenkes No. 3 tahun 2022 tentang Petunjuk Operasional Penggunaan Dana Alokasi Khusus Fisik Bidang Kesehatan Tahun Anggaran 2022.
Direktorat Produksi dan Distribusi Kefarmasian juga mendorong terlaksananya edukasi fitofarmaka di bidang kedokteran dengan melibatkan universitas negeri dan swasta untuk berpartisipasi mempersiapkan SDM kesehatan, terutama tenaga kefarmasian. Sesuai Undang-undang 36/2009 tentang Kesehatan Pasal 108, bahwa tenaga kefarmasian merupakan pihak yang memiliki keahlian dan kewenangan dalam praktik kefarmasian akan menjadi penanggung jawab pengelolaan fitofarmaka dari hulu sampai ke hilir, mulai dari proses produksi di industri farmasi, penyaluran ke pedagang besar farmasi, hingga pemanfaatan di tingkat fasyankes. Oleh karena itu, perlu adanya pembekalan keilmuan tekait fitofarmaka di masa pendidikan.

Kegiatan yang diselenggarakan di Yogyakarta pada tanggal 11 – 13 Agustus 2022 ini, dihadiri oleh komnas penyusun formularium fitofarmaka, praktisi, IAI, Dinas Kesehatan Provinsi dan Kab/Kota, Puskesmas, rumah sakit, dan K/L terkait. Kegiatan promosi penggunaan Fitofarmaka ini dilaksanakan secara hybrid luring dan daring. Pada pertemuan, industri farmasi juga memperkenalkan beberapa produk obat-obatan bahan alam yang telah mendapatkan izin edar. Dengan langkah ini, diharapkan pasar Fitofarmaka dapat ditingkatkan secara pesat sehingga dapat mendukung pengembangan Fitofarmaka.