Pandemi COVID-19 merupakan salah satu wabah yang telah menimbulkan permasalahan kesehatan global. Pada masa pandemi ini, kita telah mengalami kesulitan dalam mengakses produk obat, bahan baku obat dan alat kesehatan dikarenakan adanya kebijakan lockdown yang diterapkan oleh negara-negara untuk mengantisipasi dampak penyebaran COVID-19.
Selama tiga tahun ini, Indonesia dan seluruh dunia dihantam pandemi Covid 19, dimana krisis ini menyadarkan kita untuk segera melakukan transformasi di bidang kesehatan. Sektor farmasi masih bergantung signifikan pada produk maupun bahan baku impor. Kemandirian produk farmasi dan alkes dalam negeri sangat dibutuhkan untuk resiliensi sistem Kesehatan.
Menurut studi Balitbangkes tentang penggunaan obat tradisional di masyarakat pada masa pandemi COVID-19, sebanyak 79% masyarakat mengkonsumsi obat tradisional untuk membantu meningkatkan daya tahan tubuh selama pandemi COVID-19. Fitofarmaka juga digunakan dalam terapi farmakologi untuk pasien dengan gejala ringan sesuai Pedoman Tatalaksana Klinik Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di Fasilitas Kesehatan.
Lesson learned dari pandemi COVID-19, bahwa kita harus meningkatkan ketahanan sektor farmasi. Potensi sumber daya yang dimiliki harus dimanfaatkan khususnya dalam pengembangan obat tradisional dan mengurangi ketergantungan impor.
Pengembangan fitofarmaka menjadi salah satu target prioritas dalam transformasi kesehatan yang masuk dalam pilar ke-3 yaitu transformasi sistem ketahanan kesehatan untuk mengoptimalkan potensi besar bahan baku natural di Indonesia serta untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Pada tahun 2022, target pengembangan bahan baku fitofarmaka sebanyak 11 (sebelas) bahan baku, untuk selanjutnya akan menjadi 27 bahan baku fitofarmaka pada tahun 2024 (kumulatif).
Pemerintah menetapkan target realisasi belanja barang/jasa produk usaha mikro, usaha kecil dan koperasi produksi dalam negeri sebesar minimal 40% dengan nilai Rp 400 triliun. Target ini hampir tidak mungkin dijalankan eksklusif oleh satu aktor, tetapi menuntut aksi kolaboratif lintas sektor.
Untuk melakukan kolaborasi dan sinergisme program dengan stakeholder terkait dalam rangka pengembangan fitofarmaka dalam negeri maka Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan melalui Direktorat Ketahanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan mengadakan kegiatan FGD Sinergisme ABGCI dalam Percepatan Pengembangan Fitofarmaka Dalam Negeri.
Kegiatan yang dilaksanakan pada Kamis, 9 Februari 2023 ini dihadiri oleh peserta luring yang terdiri dari perwakilan Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, perwakilan Kementerian Pertanian, perwakilan Badan POM, perwakilan Komisi Nasional Saintifikasi Jamu, Tim Kementerian Kesehatan dan peserta daring melalui media zoom meeting.
Dalam sambutannya, Direktur Ketahanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan Roy Himawan menyampaikan bahwa pengembangan fitofarmaka dari hulu ke hilir bertujuan untuk meningkatkan ekosistem inovasi dan diperlukan koordinasi ABGCI. “Pengembangan fitofarmaka tersebut dimulai dari menentukan jenis fitofarmaka, penanaman dan budidaya bahan baku, panen dan ekstraksi, pengujian bahan baku dan sediaan fitofarmaka, Registrasi, produksi fitofarmaka, hingga hilirisasi dengan promosi dan pemanfaatan fitofarmaka”, tambah Himawan.
Ke depan, upaya-upaya mewujudkan ketahanan fitofarmaka akan diarahkan pada pengembangan dan peningkatan ketersediaan bahan baku natural untuk memenuhi kebutuhan industri obat tradisional, memfasilitasi hubungan antara peneliti dengan industri untuk pengembangan produk fitofarmaka dari hulu ke hilir, pendampingan bagi industri fitofarmaka dalam tahapan uji klinik sampai registrasi, serta mendorong fitofarmaka agar masuk paket manfaat program JKN.