Jakarta, 6 September 2024
Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI menyelenggarakan Public Hearing untuk membahas Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) terkait Perbekalan Kesehatan.
Kegiatan ini bertujuan untuk mengakomodasi partisipasi publik dengan menghimpun tanggapan dan masukan dari pemangku kepentingan khususnya yang terdampak secara langsung dan yang memiliki kepentingan dalam penyusunan regulasi ini.
Dengan semangat partisipasi etika yang bermakna (Meaningful Participation), Kementerian Kesehatan mengajak seluruh elemen masyarakat untuk turut serta dalam proses ini. Masyarakat memiliki tiga hak penting yang harus diakomodasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu: hak untuk didengar; hak untuk dipertimbangkan pendapatnya; dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas tanggapan yang diberikan.
Pertemuan yang dilaksanakan secara hybrid pada 6 September 2024 di Jakarta ini, dihadiri oleh stakeholders lintas sektor dari Kementerian/Lembaga, akademisi, pakar, asosiasi, pelaku usaha, organisasi profesi, komunitas hingga yayasan, semua pihak memberikan kontribusi demi penyempurnaan RPMK ini.
RPMK tentang Perbekalan Kesehatan ini merupakan bagian dari tindak lanjut atas Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2024, yang menyederhanakan regulasi terkait kefarmasian dan alat kesehatan melalui metode omnibus law. RPMK ini mencabut 40 regulasi eksisting sebagai upaya simplifikasi untuk meningkatkan efisiensi dan keteraturan dalam regulasi. Berdasarkan UU No 17 tahun 2023 dan PP No 28 tahun 2024 terdapat 161 amanah PMK dan 71 KMK yang perlu dibentuk, sesuai arahan Menteri Kesehatan dalam proses pembentukan regulasi pembentukan RPMK ini akan dilakukan simplifikasi regulasi menjadi 14 RPMK, dan 66 RKMK dan salah satunya adalah RPMK tentang Perbekalan Kesehatan.
Dalam sambutannya Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan L. Rizka Andalucia menyoroti pentingnya penguatan sistem rantai pasok farmasi di Indonesia. Meski Indonesia memiliki kapasitas besar dalam produksi obat generik, akses terhadap obat inovatif masih terbatas. 90% bahan baku obat masih diimpor, dan hanya 18% obat inovatif tersedia di Indonesia, lebih rendah dibandingkan dengan negara- negara G20 yang mencapai 38%. Rizka menegaskan “perlunya intervensi dan kerjasama lintas sektor untuk mempercepat kemandirian industri farmasi nasional”.
Lebih lanjut Rizka mengatakan, “Kekosongan obat masih terjadi karena tidak ada sinkronisasi antara produksi dan distribusi, sehingga pendekatan supply dan demand menjadi penting” ungkap Rizka.
Selain itu, Rizka juga menggarisbawahi tantangan dalam produksi dan distribusi obat yang masih belum sinkron. Pendekatan berbasis supply and demand sangat penting untuk mengatasi kekosongan obat yang sering terjadi.
RPMK Perbekalan Kesehatan ini mencakup aspek perencanaan, produksi, penyediaan, peredaran, dan pengendalian perbekalan kesehatan. Peraturan ini juga mengatur pencatatan dan pelaporan melalui Sistem Informasi Kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional, serta pembinaan dan pengawasan untuk menjamin ketersediaan perbekalan Kesehatan yang aman, berkualitas, dan terjangkau
Melalui kegiatan ini, Kemenkes berharap tercipta kebijakan yang berpihak pada kepentingan nasional, serta mencerminkan aspirasi publik, sehingga mampu memperkuat sistem kesehatan nasional, dan memastikan akses yang lebih luas terhadap perbekalan kesehatan yang aman, berkualitas, dan terjangkau bagi seluruh lapisan Masyarakat
Kemenkes mengundang partisipasi aktif dari masyarakat untuk memberikan masukan selama proses penyusunan RPMK berlangsung melalui laman https://partisipasisehat.kemkes.go.id/ .
Mari bersama membentuk kebijakan kesehatan yang inklusif dan berkelanjutan untuk Indonesia yang lebih sehat!