Resistensi Antimikroba merupakan salah satu tantangan kesehatan global yang dapat menurunkan mutu pelayanan kesehatan, meningkatkan beban pembiayaan, dan menghambat pencapaian SDGs.
Resolusi pada pertemuan World Health Assembly (WHA) ke-68 tahun 2015 menghasilkan Global Action Plan on Antimcrobial Resistance (GAP AMR) sebagai upaya pengendalian resistensi antimikroba dan menjadi salah satu program prioritas di bidang kesehatan, baik secara nasional maupun global.
Sebagai tindak lanjut, disusun Rencana Aksi Nasional Pengendalian Resistensi Antimikroba (RAN PRA) Indonesia tahun 2020-2024 melalui pendekatan One Health dengan melibatkan lintas sektor dan lintas Kementerian di Indonesia melalui Permenko PMK Nomor 7 Tahun 2021, yang bertujuan untuk meminimalisasi muncul dan menyebarnya mikroba resisten, memastikan ketersediaan antimikroba yang aman, efektif, bermutu, dan terjangkau, serta penggunaan antimikroba secara bijak dan bertanggung jawab.
Konsumsi antimikroba atau Antimicrobial Consumption (AMC) merupakan data agregat tentang jenis dan jumlah obat antimikroba yang dikonsumsi suatu populasi. WHO telah menetapkan kelompok antimikroba utama yang dipantau dalam AMC, diantaranya: J01 (antibacterials for systemic use), A07AA (antibiotics for alimentary tract) dan P01AB (nitroimidazole derivatives for protozoal diseases).
![](https://farmalkes.kemkes.go.id/wp-content/uploads/2023/10/4_Seminar-Antimikroba-1024x683.jpg)
Pelaporan AMC berdasarkan data impor, produksi, distribusi, peresepan, atau pelayanan obat dari industri farmasi, PBF, Instalasi Farmasi Rumah sakit, dan Puskesmas menggunakan sistem Anatomy Therapeutic Chemical (ATC)/Defined Dailiy Dose (DDD), yang telah direkomendasikan WHO sejak tahun 1996.
Penggunaan ATC/DDD ini memiliki beberapa manfaat yaitu
- Klasifikasi ini memungkinkan untuk melakukan perbandingan penggunaan obat antar negara secara internasional;
- Obat dalam struktur ATC dikelompokkan berdasarkan zat aktif dalam beberapa kelompok sesuai dengan organ/sistem tempat obat tersebut bekerja, tujuan terapi, sifat farmakologi dan kimia obat sehingga semua bentuk sediaan obat dapat dikelompokkan dalam satu kode ATC.
Sehubungan dengan hal tersebut, Ditjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan melalui Direktorat Pengelolaan dan Pelayanan Kefarmasian menyelenggarkan kegiatan Peningkatan Kapasitas tentang Konsumsi Antimikroba yang berfokus pada Data Assessment on Antimicrobial Consumption pada 24–26 Mei 2023 di Hotel Savero Style Bogor.
Kegiatan yang dibuka Ketua Tim Kerja Farmasi Kesehatan Masyarakat dan Klinis Dra. Hidayati Masud, Apt., dengan melibatkan peserta luring yang terdiri dari WHO SEARO, WHO Country Office Indonesia, BPOM, BPJS Kesehatan, KPRA, IQVIA, Digital Transformation Officer, BRIN, Project Manager Officer (PMO) dan unit utama lain terkait AMS di lingkungan Kementerian Kesehatan.
“Tujuan dari kegiatan ini adalah meningkatkan pengetahuan dan kapasitas tim surveilans AMC dalam mengumpulkan dan mengevaluasi konsumsi obat dengan metodologi ATC/DDD dan menyediakan data konsumsi obat khususnya antimikroba dari tingkat fasilitas pelayanan kesehatan,” ujar Hidayati.
Perwakilan WHO SEARO Terence Fusire menyampaikan pada level global konsumsi antimikroba (AMC) naik 65 persen dari tahun 2000–2015. Berdasarkan data studi WHO, Indonesia termasuk salah satu negara dengan konsumsi antibiotika yang tinggi.
Lebih lanjut Terence menyampaikan, pengukuran data konsumsi antimikroba merupakan komponen penting dalam pengendalian resistensi antimikroba. Analisa data konsumsi antimikroba dapat berkontribusi dalam penguatan sistem farmasi (kebijakan, pengadaan dan pasokan, Penggunaan Obat Rasional, Famakovigilans), peningkatan pelayanan klinis (epidemiologi AMR, peningkatan pedoman, penatalaksanaan antimikroba, kontrol pencegahan infeksi) dan satu kesehatan (kebijakan dan epidemiologi).
![](https://farmalkes.kemkes.go.id/wp-content/uploads/2023/10/2_Seminar-Antimikroba-1024x683.jpg)
Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA), dr. Harry Parathon, Sp.OG menyampaikan, Permenko PMK Nomor 7 Tahun 2021 merupakan legitimasi hukum dari Rencana Aksi Nasional Pengendalian Resistensi Antimikroba (RAN PRA) kedua Indonesia tahun 2020-2024, diharapkan semua Kementerian/Lembaga dan instansi terkait dapat melaksanakan peraturan tersebut untuk mewujudkan Indonesia sehat dan bebas dari dampak resistensi antimikroba.
“Trend resistensi antimikroba terus naik, yuk kita turunkan konsumsi antimikroba,” ucap dr. Harry.
Salah satu peserta pelatihan, Patri dari BPOM menyampaikan, “Setelah mengikuti pelatihan ini, banyak manfaat yang kami dapatkan yakni dapat memahami mekanisme perhitungan hingga pelaporan dan penyajian data AMC serta gambaran penggunaan antimikroba (AMU) yang akan berdampak untuk intervensi resistensi antibiotika, mendapat gambaran bentuk data yang tersedia di sektor publik yang digunakan untuk AMC, dapat menyusun action plan untuk menindaklanjuti penyusunan AMC, menyiapkan kebijakan penanggulangan yang tepat dalam pencegahan dan penanggulangan resistensi antibiotika berdasarkan data AMC dan langkah awal dalam sinkronisasi kebijakan penanganan AMR.”
“Harapan kedepan agar dilakukan penguatan koordinasi antara Kementerian/Lembaga terkait dalam hal melakukan pengelolaan data AMC dan membuat tim khusus AMC agar secara fokus dapat mengelola data yang dibutuhkan, sehingga secara global Indonesia dapat berperan aktif dalam pelaporan AMC sesuai dengan metodologi standar WHO.” tutup Patri.
![](https://farmalkes.kemkes.go.id/wp-content/uploads/2023/10/3_Seminar-Antimikroba-1024x683.jpg)