Oleh: Erie Gusnellyanti, S.Si, Apt.
Pengobatan sendiri atau swamedikasi (self medication) merupakan upaya yang paling banyak dilakukan oleh masyarakat untuk mengatasi keluhan atau gejala penyakit, sebelum mereka memutuskan untuk mencari pertolongan ke fasilitas pelayanan kesehatan/tenaga kesehatan. Lebih dari 60% masyarakat mempraktekkan self-medication ini, dan lebih dari 80% di antara mereka mengandalkan obat modern (Flora, 1991). Data Susenas Badan Pusat Statistik juga menunjukkan bahwa lebih dari 60 % masyarakat melakukan pengobatan sendiri. Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 menunjukkan bahwa 35,2 % masyarakat Indonesia menyimpan obat di rumah tangga, baik diperoleh dari resep dokter maupun dibeli sendiri secara bebas, di antaranya sebesar 27,8 % adalah antibiotik. (Kementerian Kesehatan, 2013).
Apabila dilakukan dengan tepat dan benar, swamedikasi dapat menjadi sumbangan yang besar bagi pemerintah, terutama dalam pemeliharaan kesehatan secara Nasional. Namun jika sebaliknya, swamedikasi dapat menyebabkan permasalahan kesehatan akibat kesalahan penggunaan, tidak tercapainya efek pengobatan, timbulnya efek samping yang tidak diinginkan, penyebab timbulnya penyakit baru, kelebihan pemakaian obat (overdosis) karena penggunaan obat yang mengandung zat aktif yang sama secara bersama, dan sebagainya. Permasalahan kesehatan yang baru dapat saja timbul menyebabkan penyakit yang jauh lebih berat. Hal ini dapat disebabkan karena terbatasnya pengetahuan masyarakat dan kurangnya informasi yang diperoleh dari tenaga kesehatan, maupun kurangnya kesadaran dan kemampuan masyarakat untuk mencari informasi melalui sumber informasi yang tersedia. Untuk melakukan swamedikasi secara benar, masyarakat memerlukan informasi yang jelas, benar dan dapat dipercaya, sehingga penentuan jenis dan jumlah obat yang diperlukan harus berdasarkan kerasionalan penggunaan obat. Swamedikasi hendaknya hanya dilakukan untuk penyakit ringan dan bertujuan mengurangi gejala, menggunakan obat dapat digunakan tanpa resep dokter sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Metode Cara Belajar Insan Aktif (CBIA) atau “community based interactive approach” merupakan salah satu kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dapat digunakan dalam mengedukasi masyarakat untuk memilih dan menggunakan obat yang benar pada swamedikasi. Melalui metode ini diharapkan masyarakat, terutama para ibu agar lebih aktif dalam mencari informasi mengenai obat yang digunakan oleh keluarga. Informasi tersebut dapat berguna antara lain agar dapat menggunakan dan mengelola obat di rumah tangga secara benar. Selain itu diharapkan agar tujuan self-medication dapat tercapai secara optimal. Sumber informasi produk tersebut dapat dicantumkan pada kemasan maupun package insert/brosur.
Metode edukasi masyarakat melalui CBIA pertama kali dikembangkan oleh Prof. Dr. Sri Suryawati sejak tahun 1992, guru besar farmakologi dari Fakultas Kedokteran, Universitas Gajah Mada. Bersama timnya di Pusat Studi Farmakologi Klinik dan Kebijakan Obat UGM, metode ini telah dikembangkan selama bertahun-tahun, dan telah diadopsi oleh beberapa negara di Asia serta diakui oleh WHO. Pada tahun 2007, bekerja sama dengan Direktorat Penggunaan Obat Rasional, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kementerian Kesehatan, dilaksanakan kegiatan pilot project selama dua hari di Pandeglang, Banten.
Selanjutnya kegiatan pemberdayaan masyarakat dengan metode CBIA dilaksanakan secara rutin oleh Kementerian Kesehatan RI mulai tahun 2008 hingga saat ini. Agar kegiatan ini dapat dilaksanakan pada sasaran yang lebih luas dan lebih banyak, maka pada tahun 2010 Kementerian Kesehatan telah menerbitkan Modul Peningkatan Keterampilan Memilih Obat untuk Swamedikasi. Modul ini terdiri dari 2 (dua) buku, yaitu Modul I untuk Tenaga Kesehatan dan Modul II untuk Kader Kesehatan. Modul ini dapat menjadi panduan bagi Pemerintah Daerah, dalam hal ini Dinas Kesehatan Propinsi/Kabupaten/Kota dan institusi lain yang berminat untuk melaksanakan kegiatan CBIA di wilayah kerjanya.
Pelaksanaan Kegiatan
Berbeda dengan kegiatan edukasi atau pelatihan pada umumnya, kegiatan edukasi masyarakat dengan metode CBIA dilaksanakan dengan cara melibatkan peserta secara aktif. Salah satu studi yang dilakukan oleh UGM, menunjukkan bahwa metode CBIA secara signifikan dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman peserta dibandingkan dengan metode ceramah dan tanya jawab (presentasi/penyuluhan). Dengan CBIA, peserta dapat mengingat dengan lebih baik, karena dilakukan secara aktif dan visual melalui pengamatan secara langsung. Tutor dan fasilitator hanya berperan sebagai pemandu dalam diskusi, sedangkan informasi lebih lanjut yang dibutuhkan dapat disampaikan oleh Narasumber yang diundang. Dengan demikian kader yang sudah pernah dilatih, atau mahasiswa juga dapat dilibatkan sebagai tutor, sedangkan tenaga kesehatan Puskesmas atau Dinas Kesehatan dapat menjadi fasilitator. Narasumber dapat didatangkan dari profesi apoteker yang telah berpengalaman.
Dalam CBIA, peserta dapat terdiri dari ibu rumah tangga, kader kesehatan (posyandu), tokoh masyarakat, anggota tim penggerak PKK, atau unsur/organisasi masyarakat lainnya. Untuk melatih cara melaksanakan CBIA, dilakukan pelatihan untuk pelatih (training of trainer, TOT) sekaligus melibatkan kader kesehatan di Puskesmas atau unsur masyarakat sebagai peserta edukasi secara langsung. Kegiatan TOT yang dilaksanakan di Propinsi umumnya melibatkan peserta dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan/atau tenaga kesehatan Puskesmas setempat serta kader kesehatan (Posyandu) atau unsur/organisasi masyarakat lainnya.
Dalam kegiatan CBIA, peserta dibagi menjadi beberapa kelompok terdiri dari 6-8 orang kader. Kegiatan yang dilaksanakan dibagi menjadi 3 tahap yaitu:
1. Kegiatan I ( kelompok)
Setiap kelompok dibagikan paket obat tertentu yang telah disiapkan, lalu peserta diminta untuk :
- Mengamati kemasan obat dan mempelajari informasi yang tertera yaitu nama dagang, nama bahan aktif, dosis/kekuatan bahan aktif, bahan aktif utama dan tambahan pada obat kombinasi.
- Mengelompokkan obat berdasarkan bahan aktif, bukan berdasarkan indikasi.
- Mendiskusikan hasil pengamatan di atas.
2. Kegiatan II (Kelompok)
Tahap kegiatan ini bertujuan agar peserta berlatih mencari informasi dari kemasan, dengan cara meneliti setiap tulisan yang tersedia pada produk. Beberapa sediaan obat dalam bentuk cairan seperti sirup, eliksir, obat tetes atau obat luar berupa krim dan salep, disertakan brosur dari pabrik sebagai informasi produk. Sedangkan sediaan tablet dalam kemasan obat bebas (over the counter, OTC) seringkali hanya menyediakan informasi produk pada kemasan terluar.
Tahap ini merupakan kegiatan untuk mengumpulkan informasi yang diperlukan sebagai dasar melakukan self-medication, yaitu nama bahan aktif, indikasi, aturan penggunaan, efek samping dan kontraindikasi.
Peran Tutor dalam tahap ini cukup besar, untuk mendorong semua kebutuhan informasi, yakni 5 (lima) komponen utama informasi ditemukan secara lengkap.
Dalam kegiatan ini digunakan lembar kerja yang telah disediakan dengan jumlah lembar kerja yang tidak perlu dibatasi. Kelengkapan pengisian lembar kerja diharapkan dapat memacu aktifitas peserta pada tahap selanjutnya. Dengan dipimpin ketua kelompok, pencarian informasi dilakukan secara bersama – sama, sambil membandingkan kelengkapan informasi dari satu nama dagang dengan nama dagang yang lain.
Walaupun kegiatan ini dilakukan dalam kelompok, namun tiap peserta harus mencatat untuk keperluan sendiri. Sambil mencatat informasi, peserta sekaligus dapat menelaah secara sederhana kelengkapan dan kejelasan informasi yang disajikan pada tiap kemasan.
3. Kegiatan 3 (individual)
Kegiatan ini bertujuan untuk memupuk keberanian peserta mencari informasi sendiri. Perlu dipastikan dahulu bahwa lembar kerja pada kegiatan 2 telah terisi dengan baik. Dalam tahap ini, peserta diminta untuk mengerjakan pencatatan informasi seperti kegiatan 2, terhadap obat yang ada di rumah masing – masing.
Setelah menjelaskan kegiatan 3, diskusi ditutup dengan rangkuman oleh salah satu Tutor atau Narasumber, mengidentifikasi kembali temuan – temuan penting yang diperoleh di masing – masing kelompok, dan memberikan pesan-pesan untuk memperkuat dampak intervensi.
Hasil Kegiatan
Sampai dengan tahun 2013, kegiatan Pemberdayaan Masyarakat dengan metode CBIA oleh Pemerintah Pusat melalui Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kementerian Kesehatan telah dilaksanakan sebanyak 32 kali di 24 propinsi. Kegiatan ini dilaksanakan bersamaan dengan kegiatan Penggerakan Penggunaan Obat Rasional maupun kegiatan tersendiri di Propinsi yang bersangkutan.
Sedangkan jumlah tenaga kesehatan yang telah dilatih sampai dengan tahun 2012, adalah sebanyak 1.077 orang, kader kesehatan (Posyandu) sebanyak 2.098 orang, dan masyarakat umum sebanyak 4.657 orang. Adapun perkembangan jumlah tenaga kesehatan, kader kesehatan (Posyandu) dan masyarakat yang telah dilatih adalah sebagai berikut:
Jumlah tenaga kesehatan, kader kesehatan dan masyarakat yang telah dilatih tersebut di atas masih belum mencakup jumlah peserta pelatihan yang diadakan oleh Dinas Kesehatan Propinsi/Kabupaten/Kota. Kegiatan CBIA yang dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Propinsi dapat melalui anggaran APBN (dana dekonsentrasi) maupun APBD. Sedangkan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota umumnya melaksanakan kegiatan ini dengan menggunakan anggaran APBD maupun swadaya masyarakat. Kegiatan ini merupakan salah satu program yang menjadi perhatian dan memberikan daya ungkit dalam peningkatan peran masyarakat dalam kesehatan khususnya dalam upaya peningkatan penggunaan obat secara rasional, di samping upaya kesehatan masyarakat lainnya.
Keberhasilan pelaksanaan kegiatan CBIA dapat terlihat melalui adanya peningkatan pengetahuan peserta khususnya kader kesehatan dan masyarakat setelah pelatihan dibandingkan dengan sebelumnya. Antusiasme dari peserta masyarakat terlihat dari diskusi dan pembahasan yang berlangsung, dimana peserta di seluruh kegiatan menyampaikan apresiasi mereka terhadap penyelenggaraan kegiatan CBIA yang dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan. Peserta tenaga kesehatan umumnya menyampaikan ketertarikan untuk melaksanakan kegiatan yang sama di wilayah kerja masing – masing, sebagai bagian dari upaya edukasi dan pemberdayaan masyarakat, karena metode yang diakukan sederhana, namun hasilnya cukup signifikan.
Manfaat kegiatan CBIA
Manfaat yang dapat diterima oleh masyarakat dengan adanya kegiatan edukasi melalui CBIA antara lain adalah:
1. Peningkatan pengetahuan tentang cara memilih dan menggunakan obat yang benar, antara lain dengan memahami bahwa:
- Logo lingkaran berwarna yang tertera memiliki arti tertentu yang tidak dijelaskan pada kemasan. Masyarakat dapat mengetahui bahwa swamedikasi dapat dilakukan hanya untuk obat yang berlogo hijau (obat bebas) dan biru (obat bebas terbatas). Obat berlogo biru disertai dengan peringatan yang harus diperhatikan oleh masyarakat sebelum minum obat. Sedangkan obat dengan logo merah dengan tulisan K berwarna hitam (obat keras) hanya dapat dibeli dengan resep dokter. Pencantuman logo berwarna ini mengikuti ketentuan dari Kementerian Kesehatan.
- Informasi dalam kemasan obat lebih lengkap dibandingkan dengan iklan. Kemasan obat selalu mencantumkan informasi bahan aktif. Apabila dijumpai keraguan terhadap iklan, informasi dapat dicek langsung pada kemasan obat.
- Nama bahan aktif tercantum di bawah nama dagang. Kecuali obat kombinasi tertentu yang kandungannya banyak, misalnya hanya ditulis “multivitamin dan mineral”.
- Berbagai obat yang ada di pasaran, baik sirup atau tablet, sebagian besar isi bahan aktifnya sama atau hampir sama. Bila gejala sakit yang diderita memerlukan jenis obat tertentu, sebaiknya periksa dulu persediaan obat di rumah, apakah ada obat dengan kandungan zat aktif dan indikasi yang dibutuhkan tersedia, walaupun nama dagangnya berbeda.
- Adanya persamaan kandungan zat aktif antara obat bernama dagang dengan obat generik. Masyarakat dapat mengetahui dan menyadari bahwa obat generik yang umumnya tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah mengandung bahan aktif yang sama dengan obat bernama dagang yang banyak beredar di pasaran dengan harga yang bervariasi. Misalnya parasetamol tablet/sirup dan Antasida DOEN tersedia dalam berbagai nama dagang, dengan harga yang jauh lebih tinggi dari harga obat generik.
- Terdapat perbedaan atau persamaan kandungan zat aktif antara sediaan obat untuk orang dewasa dan anak-anak, yang nama dagangnya dibuat mirip atau menyerupai. Misalnya Bodrex-Bodrexin, Inza-Inzana, Mixagrip-Minigrip, padahal kandungan zat aktifnya berbeda walaupun indikasi sama.
- Harga obat bisa sangat bervariasi, walaupun kandungan isinya sama. Sediaan cairan seperti sirup umumnya lebih mahal dari pada tablet dengan kandungan bahan aktif yang sama. Harga obat eceran tertinggi (HET) tertera pada kemasan obat.
- Nama dagang dengan tambahan “Forte”, “Plus”, dan sebagainya, perlu dipelajari perbedaan kandungan dan kekuatannya dengan yang biasa. Sehingga peserta dapat lebih hati – hati dalam penggunaan dan dapat mengefisienkan biaya obat.
- Untuk tujuan promosi, seringkali nama bahan aktif ditulis dengan nama latin yang jarang diketahui masyarakat awam, padahal tersedia nama yang lazim. Sehingga sulit dikenali apakah obat tersebut sama dengan obat dengan nama dagang lain padahal kandungannya sama. Misalnya 1.3.7 trimetilxanthin merupakan kafein, acetaminophen dan para-aminophenol untuk mengganti parasetamol, dan lain – lain.
2. Masyarakat dapat melakukan swamedikasi dengan benar dan rasional dengan memahami bahwa:
- Penggunaan sendok takar yang disediakan dalam kemasan pada saat meminum obat sirup sangat penting, karena tidak sama dengan sendok teh atau sendok makan yang tersedia di rumah tangga.
- Waktu minum obat harus dipatuhi sesuai aturan agar obat menjadi lebih efektif. Efek samping obat tidak dialami oleh semua pasien yang minum obat tertentu, namun dapat meningkatkan kewaspadaan masyarakat pada saat minum obat tersebut.
- Informasi bahwa obat tidak dapat digunakan pada kondisi tertentu tertera pada bagian Kontra Indikasi, yang umumnya jarang diketahui oleh masyarakat awam.
3. Menurunkan penggunaan Antibiotik yang tidak tepat oleh masyarakat karena dalam diskusi ditegaskan bila terkena flu, demam atau diare tidak selalu harus menggunakan antibiotik. Penggunaan antibiotik secara tidak tepat dapat menyebabkan resistensi.
4. Meningkatkan penggunaan obat generik dengan memahami bahwa obat bernama dagang (branded) dan obat generik dengan kandungan bahan aktif yang sama pasti memiliki khasiat yang sama. Sehingga masyarakat dapat lebih cerdas untuk memilih obat generik yang harganya jauh lebih rendah, namun tidak meragukan mutunya.
Rencana Tindak Lanjut
Mengingat tingkat keberhasilan edukasi masyarakat dengan metode CBIA cukup signifikan dalam upaya peningkatan penggunaan obat rasional, Kementerian Kesehatan akan terus meningkatkan sasaran edukasi dan memperluas daerah pelatihan bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Propinsi/Kabupaten/Kota dan institusi atau unit kerja lainnya yang terkait. Metode ini akan disempurnakan melalui revisi modul pelatihan dan penyusunan instrumen pemantauan dan evaluasi indikator keberhasilan CBIA. Melalui edukasi masyarakat dengan metode CBIA, diharapkan penggunaan obat secara rasional pada masyarakat dapat meningkat, sehingga menurunkan kesalahan dalam penggunaan obat.