Produk Biologi merupakan salah satu fokus kemandirian yang ditargetkan Kementerian Kesehatan. Hal ini mengingat pengembangan pengobatan saat ini telah beralih ke produk bioteknologi, kebutuhan dalam pelayanan kesehatan yang cukup besar, ditambah lagi harga terhadap produk tersebut juga cukup tinggi.
Nilai signifikan dari produk biologi dapat kita lihat dari potensi pasar yang sudah tercatat. Berdasarkan data riset pasar IQVIA tahun 2021, laju pertumbuhan volume produk biologi (khususnya imunologi dan onkologi) periode 2016-2020 mencapai 83%, tertinggi diantara produk kelas terapi lainnya. Data KF juga mengkonfirmasi bahwa produk biologi diprediksi mendominasi 100 produk penjualan teratas secara global (55%) di tahun 2026, jauh melampaui dari kondisi serupa di 2012 (16%). Indonesia perlu memanfaatkan potensi ini, terlebih dengan melihat beberapa molekul produk biologi akan memasukan masa off-patent di 3 tahun ke depan.
Pada tahun 2022 telah ditargetkan 4 produk biologi yang akan dikembangkan dalam negeri, yaitu EPO, insulin gargline, enoxaparin, dan rituximab yang selanjutnya akan dicapai 10 produk pada tahun 2024 (kumulatif). Dalam mewujudkan kemandirian di bidang bioteknologi ini diperlukan sinergisme yang erat antara Pemerintah, industri, peneliti serta universitas/lembaga tinggi. Salah satunya diperlukan dukungan laboratorium pengujian yang memadai, baik untuk riset maupun pengujian QC release. Indonesia telah memiliki berbagai laboratorium riset dan pengujian, namun masih ada beberapa pengujian yang dilakukan di luar negeri seperti pengujian karakterisasi protein dan invivo pada hewan.
Dalam upaya mensinergiskan langkah dalam pemetaan kapasitas laboratorium riset dan uji yang ada di Indonesia, maka Direktorat Ketahanan Kefarmasian dan Alkes mengadakan kegiatan Pemetaan Fasilitas Sentral Pengujian Produk Biologi pada hari Senin, 24 Oktober 2022 di Hotel Royal Jakarta, dengan peserta yang terdiri dari industri farmasi yang mempunyai dan akan mengembangkan produk biologi, peserta Kementerian Kesehatan, Institusi Penelitian, BPOM dan BRIN.
Dalam laporannya, Ketua Tim Kerja Pengembangan dan Fasilitasi Hilirisasi Bahan Baku dan Sediaan Fitofarmaka dan Produk Biologi Dalam Negeri, Refiandes menyampaikan, kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan/kapasitas laboratorium uji yang ada serta menjajaki pembentukan jejaring/fasilitas sentral pengujian produk biologi di Indonesia.
Direktur Ketahanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Roy Himawan berkesempatan memberikan arahan sekaligus membuka secara resmi kegiatan ini. Direktur menyampaikan, perlunya dilakukan pemetaan kapasitas laboratorium baik yang sudah maupun belum tersertifikasi ISO/GLP. Untuk selanjutnya dapat dikembangkan jejaring atau fasilitas laboratorium bersama (RnD, QC, Preklinik) yang sesuai standar untuk mendukung kemandirian kefarmasian. Selain itu, dengan Indonesia memproduksi produk bioteknologi, Indonesia dapat bersaing dengan negara lain yang sudah lebih “advance” dalam produk bioteknologi. “Harapan saya, teknologi dan mutu dari produk bioteknologi yang dihasilkan Indonesia dapat bersaing sehingga dapat sejajar bahkan lebih unggul dibandingkan dengan produk luar negeri” pungkas Himawan.
Para pelaku industri biologi merasa sangat terbantu dengan adanya forum ini dimana pada forum ini diperoleh data kapasitas laboratorium uji yang ada di Indonesia serta dapat disusun rekomendasi rencana tindak lanjut yang akan dilakukan oleh para stakeholder terkait upaya pembentukan jejaring laboratorium uji produk biologi di Indonesia.
Upaya percepatan pengembangan biologi tidak dapat terlepas dari kemampuan kapasitas laboratorium dalam hal riset dan pengujian, untuk itu diperlukan kerjasama dari semua pihak baik dari Pemerintah, Akademisi/Lembaga Riset dan Industri. Inventarisasi laboratorium baik dari sisi fasilitas dan kapasitas pengujian, sertifikasi laboratorium serta peningkatan kemampuan SDM dalam hal riset dan pengujian sangat diperlukan dalam upaya peningkatan ini.
Leave a Comment